Model Manajemen Wakaf di Negara-negara Islam


Dalam catatan sejarah Islam, sudah dipraktikkan baik dalam bentuknya yang masih tradisional/konvensional, dalam “arti bentuk wakaf berupa benda-benda tidak bergerak maupun wakaf produktif berupa wakaf uang atau wakaf tunai (cash waqh) bahkan, wakaf tunai (cash waqh) ternyata sudah diperaktikan sejak awal abad kedua hijriyah. M Syafii Antonio mengutip hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, menjelasakan bahwa Imam az Zuhri (w. 124 H) salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar kodifikasi hadist (tadwnin- al hadist) mengeluarkan fatwa yang berisi anjuran melakukan wakaf dinar dan dirham untuk membangun sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Adapun caranya adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf”.66
Menurut Muhammad Abu Zahrah, dalam bukunya Muhadarat fi al-Waqf (Pembahasan Mengenai Wakaf), “wakaf telah banyak dipraktekkan pada zaman pemerintahan kerajaan Bani Umaiyah yaitu di Mesir dan Syam dan daerah-daerah bagian Islam yang telah dibuka dalam pemerintahan tersebut. Harta wakaf ketika itu terdiri dari tanah, bangunan dan kebun-kebun. Bahkan pada zaman pemerintahan Hisyam ibn Abdul Malik telah dikukuhkan jabatan khusus bagi pengurus harta wakaf”.67
Muhammad Abu Zahrah juga menyebutkan bahwa “pembangunan Masjid al-Haram dan Masjid al-Aqsa adalah sebahagian daripada bukti sejarah di mana ibadah wakaf memegang peranan penting dalam pembangunan kehidupan umat manusia”.68
Di beberapa negara muslim saat ini pun aktivitas perwakafan tidak terbatas hanya kepada tanah dan bangunan, “tetapi telah dikembangkan kepada bentuk-bentuk lain yang bersifat produktif”.69 Ada beberapa Negara Islam yang memiliki manajemen wakaf produktif, diantaranya:
1.    Manajemen Wakaf di Mesir
Di Negara ini wakaf berkembang dengan menakjubkan karena memang dikelola secara profesional. Meski begitu masih juga ada masalah yang muncul dalam memenajnya, sehingga pemerintah ”Mesir terus melakukan pengkajian untuk mengembangkan manajemen wakaf dengan tetap berlandaskan syariah”.70
Pada masa Pemerintahan Muhammad Ali Pasya, ”perwakafan di Mesir tidak terurus secara baik sehmgga tidak memberikan kontribusi yang berarti bagi pembangunan ekonomi Mesir. Wakaf pada masa tersebut menjadi asset yang terlantar. Hal itu disebabkan konsentrasi pemerintahan Muhammad Ali Pasya terfokus pada upaya mewujudkan stabilitas politik internal dalam negeri dalam rangka menghadapi masuknya pasukan barat ke Mesir. Kendatipun adanya usaha meningkatkan perekonomian Mesir, namun wakaf tetap secara terabaikan. Dia berusaha mengembalikan tanah kepada petani sebelumnya yang diambil oleh negara. Ironisnya, petani tetap saja berurusan dengan negara”.71
Keinginan kuat untuk mengelola wakaf secara baik baru muncul pada masa pasca pemerintahan Muhammad Ali Pasya. ”Usaha pertama yang dilakukan oleh pemerintah Mesir adalah menertibkan tanah wakaf melalui penjagaan dan pemeliharaan serta diarahkan pada tujuan kemaslahatan umum sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Selain itu, pemerintah juga memberikan perlindungan kepada para mustahiq. Langkah selanjutnya yang dilakukan pemerintah adalah membentuk diwan al-waqf yang menjadi cikal bakal departemen wakaf”.72
Kendatipun pemerintah Mesir telah membentuk satu departemen untuk mengelola wakaf secara serius, tetapi ternyata persoalan lainnya muncul seperti tidak adanya rasa keadilan yang ditetapkan oleh para pewakaf (wakif), pengawasan dan pengelolan yang kurang profesional. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaannya tidak jarang wakif dalam berwakaf tidak memperlihatkan rasa keadilan dalam masyarakat. Karena pada saat itu belum ada aturan yang mengatur bagaimana hak dan kewajiban wakif dan dengan pihak yang lain, sehingga terkesan aturan tersebut ditentukan wakif sendiri, terutama yang berkaitan dengan orang-orang yang berhak menerima harta wakaf tersebut. Kondisi demikian memunculkan sikap malas dan menurunkan etos kerja sebahagian mustahiq. Sebagian dari penerima wakaf hanya menggantungkan ekonominya dari wakaf itu saja, sehingga mereka malas untuk bekerja dan menambah deretan pengangguran dalam masyarakat karena di antara mereka tidak lagi punya etos kerja yang baik. Di samping itu, terdapat pula para nazir yang menyalahgunakan wewenangnya untuk melakukan praktek riba.
Melihat ketidakteraturan pegelolaan wakaf tersebut, beberapa kalangan masyarakat yang memiliki perhatian pada persoalan wakaf mendesak pemerintah untuk segera melakukan perubahan peraturan perundang-undangan wakaf. ”Pada tahun 1926 masyarakat mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Tetapi ide dan wacana yang dikembangkan itu justru mengundang polemik yang panjang di kalangan masyarakat luas”.73
Pemerintah akhirnya mensahkan undang-undang tersebut meskipun proses menuju pengesahan itu membutuhkan waktu yang agak panjang. ”Pada tahun 1946 peraturan perundang-undangan tentang wakaf menjadi sebuah kenyataan dan menjadi sebuah putusan politik dengan dikeluarkannya undang-undang No. 48 tahun 1946 yang isinya mencakup terjadinya wakaf dan syarat-syaratnya”.74
”Pengesahan undang-undang tersebut menjadi harapan baru bagi umat Islam Mesir untuk mengelola asset wakaf. Akan tetapi ternyata setelah undang-undang tersebut disahkan, pcrsoalan muncul. Persoalan itu terlihat pada semakin tajamnya perbedaan antara pemeritah dengan ulama, terutama yang berkaitan dengan terjadinya wakal. Menurut undang-undang yang baru saja disahkan dijelaskan bahwa wakif boleh menarik kembali harta yang telah diwakafkan ataupun mengubahnya, tetapi tidak diperbolehkan untuk menarik wakaf untuk diri sendiri. Wakaf jenis inilah yang terbanyak beredar di Mesir pada masa sebelumnya. Misalnya, wakaf yang diberikan untuk kepentingan publik seperti masjid. Dalam hal ini wakif tidak dibolehkan menarik kembali dan tidak boleh mengubahnya”.75 Di samping itu undang-undang ini juga memuat tentang berakhimya wakaf muaqqat (wakaf yang dibatasi waktunya). ”Menurut undang-undang ini wakaf muaqqat hanya terbatas pada wakaf ahli, sedangkan wakaf khari tidak dibatasi waktunya. Dalam undang-undang ini juga dicantumkan tentang pihak-pihak yang berhak atas harta wakaf, nazir, kekuasaan nazir atas harta wakaf dan pengembangannya”.76
Pada tahun 1952 pemerintah melakukan revisi terhadap undang-undang ini dengan mengeluarkan ”Undang-Undang No. 180 tahun 1952 yang berisi tentang penghapusan peraturan wakaf ahli dengan disertai peraturan pelaksanaannya”.77 Namun, di dalamnya tidak dibahas bagaimana mekanisme pengawasan dan siapa yang bertanggung jawab serta bagaimana prosedur membelanjakannya. Inilah kelemahan pertama yang terdapat dalam undang-undang baru ini. Dengan kata lain, undang-undang ini ternyata juga belum dapat menjawab persoalan dan subtansi yang diinginkan oleh masyarakat.
Menyadari hal yang demikian maka pada tahun yang sama pemerintah kembali mengajukan rancangan undang-undang yang akhirnya ”disahkan menjadi sebuah produk hukum No. 247 tentang pengawasan terhadap wakaf khairi dan penertiban belanja pemeliharaan harta wakaf. Di samping berisi tentang bagaimana pengawasan, prosedur pembelanjaan, dan pemeliharaan harta wakaf, undang-undang ini juga mengatur tentang kebolehan wizarat al-auqaf dengan persetujuan Majelis Tinggi Wakaf, untuk menyalurkan apakah seluruh atau pun sebagian saja dan harta wakaf jika wakif tidak menentukan penerima wakaf”.78
Pada tahun 1957 pemerintah mengajukan lagi rancangan undang-undang wakaf yang baru yang akhirnya disahkan menjadi sebuah Undang-Undang No. 30 tahun 1957. Melihat ketentuan hukum yang ada dalam undang-undang ini, pada dasamya tidaklah banyak memuat hal-hal yang baru, kecuali sekedar menyempumakan dan meluruskan undang-undang sebelumnya. Adapun yang terbaru dari undang-undang ini hanyalah menyangkut tentang pendirian rumah sakit yang berada di kota Kairo, Kemudian pada tahun yang sama disusul dengan undang-undang (qanun) No. 152 tahun 1957 yang mengatur tentang penggantian tanah pertanian yang diwakafkan untuk tujuan kebaikan.
Berkaitan dengan pengaturan tentang penggantian tanah pertanian, pemerintah mengeluarkan undang-undang tersendiri, yaitu ”undang undang No. 20 tahun 1957 yang memuat tentang aturan lembaga perekonomian”.79Kemudian selanjutnya dilengkapi dengan peraturan ”No. 51 tahun 1958, yang merupakan penyempurnaan dari undang undang No. 152 tahun 1957. Dengan demikian sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim secara terus menerus telah melakukan proses pematangan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan wakaf dengan senantiasa merujuk kepada syari’at Islam. Salah satu hasil dari proses ini ialah pada tahun 1971 pemerintah berhasil membentuk suatu badan yang khusus menangani persoalan wakaf dan pengembangannya yang disesuaikan dengan Qanun No. 80 tahun 1971. Badan ini bertugas melakukan kerjasama dalam pengawasan dan memeriksa tujuan undang-undang wakaf dan program wizarat al-auqaf. Di samping itu, badan ini juga diberi wewenang untuk mengusut dan melaksanakan semua pendistribusian wakaf serta semua kegiatan yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan”.80
Dalam rangka memudahkan dalam pelaksanaan undang-undang ini, maka pemerintah membentuk struktur kepengurusan wakaf yang terdiri dari ketua badan atau lembaga dan direktur umum. ”Direktur umum dibantu oleh tiga direktur umum lainnya, yang membidangi harta benda dari pengembangan, bidang teknik (pengukuran) dan bidang pertanian. Di samping itu, kepengurusan ini juga dibantu oleh empat orang wakil menteri, yaitu kementerian pertanian, kementerian kependudukan dan kementerian ekonomi serta kementerian perwakafan. Kemudian terdapat juga penasehat dan majelis pengadilan tinggi yang dipilih oleh majelis dari seorang ahli hukum Islam yang dipilih oleh menteri perwakafan. Adapun harta benda yang dikelola oleh badan ini: pertama, harta yang dikhususkan oleh pemerintah untuk anggaran umum, kedua, barang yang menjadi jaminan hutang, ketiga, hibah, wasiat dan sedekah, keempat, dokumen, uang atau harta yang harus dibelanjakan dan sesuatu yang sudah menjadi haknya untuk dikelola sesuai dengan Undang-undang No. 70 tahun 1972. Kelima, hasil lain yang berguna untuk menmgkatkan dan mengembangkan harta wakaf”.81
Sebagai negara yang sudah cukup lama mengelola harta wakaf, Mesir telah berhasil mengembangkan wakaf untuk pengembangan ekonomi umat. Di antara faktor-faktor yang menjadi pendukungnya adalah: ”Pertama, pihak pengelola wakaf menyimpan hasil harta wakaf khair di bank sehingga dapat berkembang. Kedua, untuk pembangunan ekonomi umat, pemerintah khususnya Departemen Perwakafan ikut berpartisipasi dalam mendirikan Bank Syari’ah. Ketiga, Departemen Perwakafan melakukan kerjasama dengan pihak lain sebagai penanam modal untuk pendirian pabrik, rumah sakit Islam, pemeliharaan ternak, bank untuk perumahan dan bangunan dan lain-lain. Keempat, Departemen Perwakafan mengelola tanah wakaf yang kosong untuk dikelola secara produktif melalui pendirian lembaga lembaga perekonomian, bekerja sama dengan perusahaan besi dan baja”.82
Di samping itu, dalam rangka pengembangan wakaf departemen wakaf tidak hanya menanamkan sahamnya dalam skala besar tetapi juga pada penanaman dalam skala kecil. Misalnya, ”membantu permodalan usaha kecil dan menengah serta membantu kaum dhuafa’, menjaga dan memelihara kesehatan masyarakat melalui pendirian rumah sakit dan penyediaan obat-obatan dan poliklinik, mendirikan tempat-tempat ibadah dan lembaga pendidikan serta ikut serta dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan”.83
Dengan demikian terlihat jelas bahwa manajemen wakaf di Mesir dikelola secara serius dan produktif oleh badan wakaf yang dibentuk oleh pemerintah dalam rangka membantu kepentingan masyarakat baik di bidang sosial, agama, pendidikan, ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan. Pengelolaannya juga terdiri dari tenaga-tenaga yang profesional dan sistem pengelolaannya juga didukung oleh peraturan perundang-undangan yang memadai serta mudah untuk diterapkan.

2.    Manajemen Wakaf di Arab Saudi
Negara padang pasir pusat turunya agama Islam adalah negara kerajaan yang mewarisi ajaran Islam. Kerajaan Saudi Arabia berdasarkan syariat Islam dan konstitusinya adalah sebagaimana yang diajarkan oleh Islam.
Pemerintah kerajaan Saudi Arabia membuat peraturan bagi majelis tinggi wakaf dengan ketetapan ”No. 574 tanggal 16 Rajab 1386 sesuai dengan surat keputusan kerajaan No. M/35, Tanggal 18 Rajab 1386. Majelis tinggi wakaf diketuai oleh Menteri Haji dan wakaf, yakni menteri yang menguasai wakaf dan menguasai permasalahan-permasalahn perwakafan sebelum dibentuk majelis tinggi wakaf. Majelis tinggi wakaf mempunyai wewenang untuk membelanjakan hasil pengembanganwakaf dan menentukan langkah-langkah dalam mengembangkan wakaf bedasarkan syarat-syarat yang ditentukan wakif dan menajemen wakaf”.84
Disamping itu majelis tinggi wakaf juga mempunyai beberapa wewenang antara lain85:
1)            Melakukan pendataan wakaf serta menentukan cara-cara pengelolahannya
2)            Menenentukan langkah-langkah umum untuk menanam modal, pengembangan dan peningkatan harta wakaf
3)            Mengetahui kondisi wakaf yang ada.
4)            Membelanjakan harta wakaf untuk kebijakan menurut syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh wakif dan sesuai syariat islam
5)            Menetapkan anggaran tahunan demi kelangsungan wakaf dan mendistribusikan hasil pengembangan harta wakaf tersebut menurut pertimbangan-pertimbangan tertentu.
6)            Menggambarkan wakaf secara produktif dan mengumumkan hasil wakaf yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah86.

3.    Manajemen Wakaf di Yordania
Secara administratif, pelaksanaan manajemen wakaf dikerajaan Yordania didasarkan pada “Undang-Undang Wakaf Islam No. 25/ 1947”.87 Dalam UU tersebut bahwa “yang termasuk dalam urusan kementrian wakaf dan kementerian agama Islam adalah wakaf mesjid, madrasah lembaga-lembaga Islam, rumah-rumah yatim, tempat pendidikan, lembaga-lembaga syariah, kuburan-kuburan Islam, Urusan-urusan haji dan urusan fatwa. UU wakaf yang mengatur tentang peraturan UU wakaf No. 26/ 1966. dalam pasal 3, secara rinci disebutkan bahwa tujuan kementrian wakaf dan urusan agama Islam”88antara lain adalah sebagai berikut:
1)      Memelihara masjid dan harta wakaf serta mengendalikan urusan-urusanya.
2)      Mengembangkan masjid untuk menyampaikan risalah Nabi Muhamad SAW dengan mewujudkan pendidikan Islam
3)      Membakar semangat zihad dan menguatkan jiwa Islam serta meningkatkan kualitas keimanan
4)      Menumbuhkan akhlak Islam dan menguatkan dalam kehidupan kaum muslimin
5)      Menguatkan semangat Islam dan menggalakan pendidikan agama dengan mendirikan lembaga-lembaga dan sekolah untuk menghafal Al-Quran
6)      Menyosialisasikan budaya Islam, menjaga peninggalan Islam melahirkan kebudayaan baru Islam dan menumbuhkan kesadaran beragama.89


4.    Manajemen Wakaf Di Bangladesh
Disamping negara termiskin, Bangladesh juga merupakan negara terbelakang dengan jumlah penduduk yang besar, yaitu ”sekitar 120 juta jiwa dengan luas daerah 55.000 mill persegi”. Selain itu, kondisi alam seringkali kurang menguntungkan karena negara ini termasuk sering tertimpah bencana banjir dengan angin topan. Peningkatan populasi Bangladesh juga cukup padat, yaitu 717 orang per km persegi dan juga termasuk salah satu dari negara yang mempunyai sumber daya alam yang sangat terbatas. Berbagai dimensi kemiskinan ini antara lain tercermin dari penurunan pendapatan sektor pertanian, ketidakmerataan distribusi pendapatan yang cenderung menguntungkan masyarakat perkotaan, perbedaan gaji antara sektor formal dan informal, peningkatan dramatis dalam biaya hidup, mencuatnya beberapa masalah penemuan kesehatan masyarakat, pengangguran dan imigrasi internal.
Di Bangladesh wakaf telah dikelolah oleh ”Social Investement Ltd. (SIBL) Bank ini telah mengembangkan pasar modal sosial (the voluntary capital market). Instrumen-instrumen keuangan Islam yang telah dikembangkan,antara lain: surat obligasi pembangunan perangkat wakaf, sertifikat wakaf tunai, sertifikat wakaf keluarga, obligasi pembangunan perangkat mesjid, saham komunitas mesjid, sertifikat pembayaran zakat, sertifikat simpanan haji, dan lain-lain”.92


66 Ahmad Djunaidi, Thobieb Al-Asyhar, “Menuju Era Wakaf Produktif (Jakarta: Mumtaz Publishing, 2007), hlm. 27-44
67 Muhammad Abu Zahrah, “Muhadarat fi al-Waqf”, (Mesir: Dar al-Fikr al-'Arabiy, 1971), hlm. 5
68 Ibid, hlm 5
69 Uswatun Hasanah, “Peranan Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial (Studi Kasus Pengelolaan Vakaf di Jakarta Selatan)”, Disertasi tidak diterbitkan, (IAIN Syarif Hidayatullah, 1997), hlm. 81
70 OpCit, Ahmad Djunaidi, Thobieb Al-Asyhar, “Menuju Era Wakaf Produktif (Jakarta: Mumtaz Publishing, 2007), hlm. 27-44
71 Ahmad Syalabi, “Mausu'ah al-Tarikh al-Islamiy”, (Mesir: Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1979), hlm. 357.
72  Uswatun Hasanah, op.cit.hlm 83-84
73 Pendapat yang berkembang pada saat itu terbagi kepada tiga kelompok. (1), kelompok yang berpendapat bahwa tidak diperlukan lagi aturan yang mengatur tentang wakaf dan seyogyanya lembaga wakaf dibubarkan, denagn alasan: a. banyaknya orang yang hidup bersenang-senang dengan tanah wakaf yang jumlahnya mencapai 1/8 (seperdelapan) dari seluruh tanah pertanian di Mesir dan tidak dikelola secara produktif. b. wakaf ahli menimbulkan pengangguran. c. sebagian nazir menyelewengkan harta wakaf. d. pertentangan antara para nazir, kekacauan pelaksanaan wakaf, dan perbedaan pendapat di antara para penegak hukum menyebabkan lemahnya lembaga wakaf. e. jumlah orangnya makin banyak menyebabkan bagian yang diterima masing-masing generasi semakin kecil. f. harta wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, baik mustahiq maupun nazir kurang memiliki rasa tanggung jawab untuk melestarikan harta wakaf tersebut. (2) kelompok yang mendukung rancangan undang undang tersebut untuk segera disahkan. Namun terhadap wakaf ahli dan khairi mereka sepakat dengan kelompok pertama bahwa jenis wakaf ini tidak lagi relevan dengan perkembangan masyarakat Mesir. (3) Kelompok yang mendukung semua rancangan tersebut dan menentang pembubaran lembaga wakaf, dengan alasan bahwa terjadinya kesemrawutan pengelolaan wakaf disebabkan oleh pengelolaan yang tidak profesional dan belum adanya aturan yang mengatur sistem kerja pengelola dan wakif.
74 Jumhuriyyah Misr al-‘Arabiyah, ”Qawanin al-Waqf wa al-Hikr wa al-Qararat al-Tanfiziyah”, (Kairo: al-Hai’ah al-Ammah li Syuun al-Matabi al-amiriyah, 193), hlm. 1-4.
75 Jumhuriyyah Misr al-‘Arabiyah, ”Qawanin al-Waqf wa al-Hikr wa al-Qararat al-Tanfiziyah”, (Kairo: al-Hai’ah al-Ammah li Syuun al-Matabi al-amiriyah, 193), hlm. 1-4.
76 Ibid, hlm 1-4
77  Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 88.
78  Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 88.
79  Jumhuriyyah Misr al-Arabi, op.cit., h. 34-37
80  Muhammad Abdul Manan, “Teori dan Praktek Perekonomian Islam”, diterjemahkan oleh M. Nastagin, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993), hlm. 385.
81   Jumhur Misr al-Arabi, op.cit., h. 149.
82 Hasan Abdullah al-Amin (ed), “Idarah wa Tassmir Mumtalakat al-Auqaf”,(Jeddah: Ma’had al-Islamiy li al-Buhuts wa al-Tadrib al-Bank al-Islamiy, 1989). hlm. 344.
83 Hasan Abdullah al-Amin (ed), “Idarah wa Tassmir Mumtalakat al-Auqaf”, (Jeddah: Ma’had al-Islamiy li al-Buhuts wa al-Tadrib al-Bank al-Islamiy, 1989). hlm. 344.
84 Ahmad Djunaidi, Op.cit, hlm. 27-44
85 Uswatun Hasanah, Op.cit, hlm. 83-84
86 Ahmad Syalabi, ”Mausu'ah al-Tarikh al-Islamiy”, (Mesir: Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1979), hlm. 357
87 Ahmad Djunaidi, Thobieb Al-Asyhar, “Menuju Era Wakaf Produktif (Jakarta: Mumtaz Publishing, 2007), hlm. 27-44
88 Ahmad Djunaidi, Thobieb Al-Asyhar, “Menuju Era Wakaf Produktif (Jakarta: Mumtaz Publishing, 2007), hlm. 27-44
89 Ahmad Djunaidi, Thobieb Al-Asyhar, “Menuju Era Wakaf Produktif (Jakarta: Mumtaz Publishing, 2007), hlm. 27-44
92 Ahmad Djunaidi, Thobieb Al-Asyhar, “Menuju Era Wakaf Produktif (Jakarta: Mumtaz Publishing, 2007), hlm. 27-44

Manajemen Wakaf Di Indonesia


Di Indonesia, kegiatan wakaf dikenal seiring dengan perkembangan dakwah Islam di Nusantara. Di samping melakukan dakwah Islam, para ulama juga sekaligus memperkenalkan ajaran wakaf. Hal ini terbukti dari banyaknya mesjid-masjid yang bersejarah yang dibangun di atas tanah wakaf. Ajaran wakaf ini terus berkembang di bumi Nusantara, baik pada masa dakwah pra kolonial, masa kolonial maupun pasca-kolonial (Indonesia merdeka).

Pada masa pemerintahan kolonial merupakan momentum kegiatan wakaf, karena pada masa itu, perkembangan organisasi keagamaan, sekolah, madrasah, pondok pesantren, mesjid yang semuanya merupakan swadaya dan berdiri di atas tanah wakaf, sehingga perkembangan wakaf semakin marak. Namun perkembangan kegiatan wakaf tidak mengalami perubahan yang berarti. Kegiatan wakaf dilakukan terbatas pada kegiatan keagamaan, seperti pembangunan mesjid, musholla, langgar, madrasah, pekuburan sehingga kegiatan wakaf di Indonesia kurang bermanfaat secara ekonomis bagi rakyat banyak.
Walaupun beberapa aturan telah dibuat oleh pemerintah terkait dengan mekanisme ajaran wakaf ini, seperti PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, akan tetapi PP ini hanya mengatur wakaf pertanahan saja, mengikuti awal perkembangan wakaf sebelumnya, yaitu wakaf selalu identik dengan tanah, dan tanah ini digunakan untuk kegiatan sosial keagamaan, seperti mesjid, kuburan, madrasah dan lain-lain.
Dalam perjalanannya, Peraturan Pemerintah ini bertahan cukup lama dan tidak ada aturan lain yang dibentuk hingga tahun 2004. Karena minimnya regulasi yang mengatur tentang perwakafan, maka tidaklah heran jika perkembangan wakaf di Indonesia mengalami stagnasi. Walaupun cukup banyak lembaga wakaf yang berdiri, akan tetapi hanya sebagian kecil lembaga wakaf (nadzir) saja yang mampu mengelola harta benda wakaf secara optimal. Sehingga dapat dikatakan bahwa perkembangan wakaf di Indonesia belum mampu memberikan konstribusi untuk meningkatkan kesejahteraan umat.

Stagnasi perkembangan manajemen wakaf di Indonesia mulai mengalami dinamisasi ketika pada tahun 2001, beberapa praktisi ekonomi Islam mulai mengusung paradigma baru ke tengah masyarakat mengenai konsep baru manajemen wakaf tunai untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Ternyata konsep tersebut menarik dan mampu memberikan energi untuk menggerakkan kemandegan perkembangan wakaf. Kemudian pada tahun 2002, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyambut konsep tersebut dengan mengeluarkan fatwa yang membolehkan Wakaf Uang (Waqf al Nuqud).

Fatwa MUI tersebut kemudian diperkuat oleh hadirnya UU No.41/2004 tentang Wakaf yang menyebutkan bahwa wakaf tidak hanya benda tidak bergerak, tetapi juga dapat berupa benda bergerak dan uang. Selain itu diatur pula beberapa kebijakan perwakafan di Indonesia, dari mulai pembentukan nazhir sampai dengan manajemen harta wakaf. Untuk dapat menjalankan fungsinya, UU ini masih memerlukan perangkat lain yaitu Peraturan Pemerintah dan  Peraturan Menteri Agama Tentang Wakaf Uang (PMA Wakaf Uang) yang akan menjadi juklak dalam implementasinya, serta adanya Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang akan berfungsi sebagai sentral nazhir wakaf. Dan setelah melalui proses panjang, pada penghujung tahun 2006 terbitlah PP No.42/2006 tentang Pelaksanaan UU Wakaf. Setelah itu, pada Juli 2007 keluar Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 75/M Tahun 2007 yang memutuskan mengangkat keanggotaan BWI periode 2007-2010.

Sejarah Wakaf dalam Pendidikan Islam


Di dalam sejarah pendidikan Islam klasik, antara pendidikan Islam dan wakaf mempunyai hubungan erat. Lembaga wakaf menjadi sumber keuangan bagi kegiatan pendidikan Islam sehingga pendidikan Islam dapat berlangsung dengan baik dan lancar. Adanya manajemen wakaf dalam Islam disebabkan oleh sistem ekonomi Islam, yang menganggap bahwa ekonomi berhubungan erat dengan akidah dan syariat.

Negara adalah institusi pelaksana pendidikan yang paling penting. Negara adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap segala urusan rakyat, termasuk dalam pendidikan. ”Sosok Ibnu Sina, Ibnu Kholdun, Ibnu Taimiyah, Imam Syafi’i dan ratusan ilmuan lain adalah contoh kecil produk sistem pendidikan Islam. Mereka sangat produktif dalam karya-karya monumental. Satu contoh kecil perhatian pemerintahan Islam dalam pendidikan adalah ketika Khalifah Harun al-Rasyid membuat keputusan: "Barangsiapa di antara kalian yang secara rutin mengumandangkan azan di wilayah kalian, maka catatlah pemberian (hadiah) sebesar 1000 dinar. Siapa pun yang menghafal al-Quran, tekun menuntut ilmu, dan rajin meramaikan majelis-majelis ilmu dan tempat pendidikan adalah berhak memperoleh 1000 dinar. Siapa saja yang menghafal al-Quran, meriwayatkan hadis, dan mendalami ilmu syariat Islam adalah berhak atas pemberian 1000 dinar".

Selain subsidi dari pemerintah, sumber dana yang digunakan untuk pendidikan berasal dari wakaf. ”Wakaf merupakan bagian dari ibadah dan hukum Islam yang berkaitan harta benda. Sebagai sistem pendanaan pendidikan, wakaf menjadi semacam lembaga yang terorganisasi dengan baik dan menjadi mode di masa Abbasiyah terutama masa keemasan peradaban Islam”. Khalifah Al-Makmun dianggap sebagai pemrakarsa berdirinya badan-badan wakaf untuk lembaga pendidikan, sehingga berbagai kegiatan keilmuan, termasuk gaji para ulamanya dapat berlangsung terus dan kokoh.

Badan wakaf yang permanen dipandang sebagai suatu keharusan dalam mendirikan suatu lembaga ilmiah. Selanjutnya wakaf-wakaf ini berkembang kegunaannya bagi orang-orang atau kelompok-kelompok studi yang menyediakan dirinya untuk kesibukan-kesibukan ilmiah di berbagai masjid. Pemberi wakaf dapat menentukan kriteria syeikh dan pengajar yang memenuhi syarat. Wakaf kebanyakan merupakan aset ekonomi yang berjalan, seperti pertanian, rumah, toko, kebun, kantor dagang, pabrik, pasar dan lain sebagainya. Dana yang dihasilkan akan bervariasi sesuai dengan kondisi ekonomi waktu itu. Oleh karena itu tingkat kehidupan para siswa dan guru yang dibiayai oleh hasil wakaf berubah-ubah dari waktu ke waktu. Dengan wakaf pendidikan menjadi lebih baik.

Mahmud Yunus memaparkan bahwa ”Dar al-Ilmi di Kairo yang didirikan oleh Al Hakim bi Amrillah pada tahun 1004 M menghabiskan kira-kira 257 dinar setiap tahun dari kas negara untuk beragam keperluan di luar gaji guru dan karyawan. Dana itu digunakan untuk membeli tikar, kertas, gaji petugas perpustakaan, air, gaji pesuruh, keperluan para pengajar, perbaikan kain, pintu, menjilid buku, membeli tikar bulu dan permadani”.Ahmad, raja Idzaj membagi hasil pajak negara menjadi tiga bagian, dimana sepertiganya untuk membiayai pendidikan.

Wakaf yang menjadi salah satu sumber pembiayaan pendidikan dalam Islam dalam pengelolaannya juga menerapkan sistem sentralistik. Dimana pemberi wakaf seringkali menentukan pola pengelolaan harta wakafnya dan penggunaan yang jelas dari hasil wakaf tersebut dalam dokumen wakaf, tanpa mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan kondisi dan kebutuhan lembaga pendidikan tersebut di kemudian hari. Di samping itu pemberi wakaf juga sering menentukan dirinya sendiri atau ahli warisnya sebagai penanggung jawab dalam mengelola harta wakaf tersebut. Kondisi pengelolaan wakaf seperti ini bisa menyebabkan madrasah tersebut terlantar dan ditutup jika kurang pengawasan dan bantuan wakaf secara kontinyu.

Sejarah Wakaf


Berikut ini uraian tentang sejarah wakaf dari masa Rasulullah saw hingga saat ini.
1. Pada Masa Rasulullah
Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan setelah nabi SAW hijrah ke Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. “Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW ialah wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid”.

“Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata: Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin Muad berkata: “Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW.” (Asy-Syaukani: 129).
Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah pernah mewakafkan ketujuh kebun kurma di Madinah; diantaranya ialah kebun A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebun lainnya. Menurut pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan syariat Wakaf adalah Umar bin Khatab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra, ia berkata:

"Dari Ibnu Umar ra, berkata : “Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh sebidang tanah di  Khaibar, kemudian Umar ra, menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk, Umar berkata : “Hai Rasulullah SAW., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW. bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-rang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (HR.Muslim).

Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab dususul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “Bairaha”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi SAW. lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur. Mu’ads bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan sebutan “Dar Al-Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah Istri Rasulullah SAW”.

2. Pada Masa Dinasti-dinasti Islam
Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa “Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah, selua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat”.

Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun setelah masyarakat Islam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti mesjid atau secara individu atau keluarga.

Pada masa Dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar Al-Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abd. Malik, Ia sangat perhatian dan tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga wakaf terrendiri sebagaimana lembaga lainnya dibawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan di seluruh negara Islam. Pada saat itu juga, Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan lembaga wakaf di bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan.

Pada masa Dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “shadr al-Wuquuf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Demikian perkembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf berkembang searah dengan pengaturan administrasinya.

Pada masa Dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (baitul mal). Ketika Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah Mesir, maka ia bermaksud mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh Dinasti Fathimiyah sebelumnya, meskipun secara fiqh Islam hukum mewakafkan harta baitul mal masih berbeda pendapat di antara para ulama.

Pertama kali orang yang mewakafkan tanah milik nagara (baitul mal) kepada yayasan dan sosial adalah Raja Nuruddin Asy-Skyahid dengan ketegasan fatwa yang dekeluarkan oleh seorang ulama pada masa itu ialah Ibnu “Ishrun dan didukung oleh pada ulama lainnya bahwa mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawaz), dengan argumentasi (dalil) memelihara dan menjaga kekayaan negara. Sebab harta yang menjadi milik negara pada dasarnya tidak boleh diwakafkan. Shalahuddin Al-Ayyubi banyak mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan madrasah mazhab asy-Syafi’iyah, madrasah al-Malikiyah dan madrasah mazhab al-Hanafiyah dengan dana melalui model mewakafkan kebun dan lahan pertanian, seperti pembangunan madrasah mazhab Syafi’iy di samping kuburan Imam Syafi’i dengan cara mewakafkan kebun pertanian dan pulau al-Fil.

Dalam rangka mensejahterakan ulama dan kepentingan misi mazhab Sunni Shalahuddin al-Ayyuby menetapkan kebijakan (1178 M/572 H) bahwa bagi orang Kristen yang datang dari Iskandar untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Hasilnya dikumpulkan  dan diwakafkan kepada para ahli yurisprudensi (fuqahaa’) dan para keturunannya. Wakaf telah menjadi sarana bagi Dinasti al-Ayyubiyah untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya ialah mazhab Sunni dan mempertahankan kekuasaannya. Dimana harta milik negara (baitul mal) menjadi modal untuk diwakafkan demi pengembangan mazhab Sunni dan menggusus mazhab Syi’ah yang dibawa oleh dinasti sebelumnya, ialah Dinasti Fathimiyah.

Perkembangan wakaf pada masa Dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Pada masa Mamluk terdapat wakaf hamba sahaya yang di wakafkan budak untuk memelihara mesjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh pengusa Dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman Basya yang mewakafkan budaknya untuk merawat mesjid.

Manfaat wakaf pada masa Dinasti Mamluk digunakan sebagaimana tujuan wakaf, seperti wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial, membangun tempat untuk memandikan mayat dan untuk membantu orang-orang fakir dan miskin. Yang lebih membawa syiar Islam adalah wakaf untuk sarana Harmain, ialah Mekkah dan Madinah, seperti kain ka’bah (kiswatul ka’bah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Shaleh bin al-Nasir yang membeli desa Bisus lalu diwakafkan untuk membiayai kiswah Ka’bah setiap tahunnya dan mengganti kain kuburan Nabi SAW dan mimbarnya setiap lima tahun sekali.

Perkembangan berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjadi tulang punggung dalam roda ekonomi pada masa dinasti Mamluk mendapat perhatian khusus pada masa itu meski tidak diketahui secara pasti awal mula disahkannya undang-undang wakaf. Namun menurut berita dan berkas yang terhimpun bahwa perundang-undangan wakaf pada Dinasti Mamluk dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-1277 M/658-676) H) di mana dengan undang-undang tersebut Raja al-Dzahir memilih hakim dari masing-masing empat mazhab Sunni.

Pada orde al-Dzahir Bibers perwakafan dapat dibagi menjadi tiga kategori: Pendapat negara hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yang dianggap berjasa, wakaf untuk membantu haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan masyarakat umum. Sejak abad lima belas, kerajaan Turki Utsmani dapat memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih oleh Dinasti Utsmani secara otomatis mempermudah untuk merapkan Syari’at Islam, diantaranya ialah peraturan tentang perwakafan.

Di antara undang-undang yang dikeluarkan pada Dinasti Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 Hijriyah. Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi dan perundang-udangan.

Pada tahun 1287 H dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi undang-undang tersebut di negara-negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan diperaktekkan sampai saat sekarang. Sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti Islam sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan dari waktu ke waktu di seluruh negeri muslim, termasuk di Indonesia.

Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Disamping itu suatu kenyataan pula bahwa di Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tak bergerak. Kalau kita perhatikan di negara-negara muslim lain, wakaf mendapat perhatian yang cukup sehingga wakaf menjadi amal sosial yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat banyak.

Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan zaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak Kekayaan Intelektual (Haki), dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, saat ini wakaf kian mendapat perhatian yang cukup serius dengan diterbitkannya Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya.

Prinsip-prinsip dalam Pengelolaan Wakaf


Adapun prinsip – prinsip dalam pengelolaan Wakaf adalah53:
1.   Asas Keberlangsungan Manfaat
Praktek pelaksanaan wakaf yang dianjurkan oleh nabi yang telah dicontohkan oleh Umar bin Khattab dan diikuti oleh beberapa sahabat nabi lainnya yang sangat menekankan pentingnya menahan eksistensi benda wakaf, dan diperintahkan untuk menyedekahkan hasil dari pengelolaan benda tersebut. Pemahaman yang paling mudah untuk dicerna dari maksud nabi adalah bahwa substansi ajaran wakaf itu tidak semata-mata terletak pada pemeliharaan bendanya (wakaf), tapi yang jauh lebih penting adalah nilai manfaat dari benda tersebut untuk kepentingan kebijakan umum.

2.   Asas Pertanggungjawaban
Bentuk dari pertanggung jawaban tersebut adalah pengelolaan secara sungguh-sungguh dan semangat yang didasari oleh:
1) Tanggung jawab kepada Allah SWT yaitu atas perilaku perbuatannya, apakah sesuai atau bertentangan dengan aturan-aturanNya.
2) Tanggung jawab Kelembagaan yaitu tanggung jawab kepada pihak yang memberikan wewenang (lembaga yang lebih tinggi).
3) Tanggung jawab Hukum yaitu tanggung jawab yang dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan hokum yang berlaku.
4) Tanggung jawab Sosial yaitu tanggung jawab yang terkait dengan moral masyarakat.

3. Asas Profesional Manajemen
Manajemen wakaf menempati pada posisi paling urgen dalam dunia perwakafan. Karena yang paling menentuka benda wakaf itu lebih bermanfaat atau tidak tergantung pada pola pengelolaan, bagus atau buruk. dalam asas profesional manajemen ini harus memiliki/mengikuti sifat-sifat Nabi yaitu:
1) Amanah (dapat dipercaya)
2) Shiddiq (jujur)
3) Fathanah (cerdas/brilian)
4) Tabligh (menyampaikan informasi yang tepat dan benar)

4. Asas Keadilan Sosial
Penegakan keadilan sosial dalam islam merupakan kemurnian dan legalitas agama. Orang yang menolak prinsip keadilan sosial ini dianggap sebagai pendusta agama (QS. 147/ Al-Ma’un). Substansi yang terkandung dalam ajaran wakaf ini sangat tampak adanya semangat menegakkan keadilan sosial melalui pendermaan harta untuk kebajikan umum.

Pengertian Wakaf

Pengertian wakaf secara terminologi menurut ahli fiqih menggunakan dua kata: habas dan wakaf. Karena itu sering digunakan kata seperti habasa atau ahbasa atau awqafa untuk menyatakan kata kerjanya. Sedang wakaf dan habas adalah kata benda dan jamaknya adalah awqaf, ahbas, dan mahbus. Dalam kamus Al-Wasith dinyatakan bahwa al-habsu artinya al-man’u (mencegah atau melarang) dan al-imsak (menahan) seperti dalam kalimat habsu as-sya’i (menahan sesuatu). Waqfuhu la yuba’ wa la yurats (wakafnya tidak dijual dan tidak diwariskan). Dalam wakaf rumah dinyatakan: Habasa fi sabilillah (mewakafkannya di jalan Allah SWT). Sedangkan menurut Ibnu Faris tentang kata habas: al-habsu ma wuqifa, al-habsu artinya sesuatu yang diwakafkan, dan pada kata wakaf, “Sesungguhnya keduanya berasal dari satu makna yang menunjukkan diamnya sesuatu.”
Ibnu Mandzur dalam kitabnya Lisanul Arab mengatakan tentang kata habas yang berarti amsakahu (menahannya). Ia menambahkan: al-hubus ma wuqifa (sesuatu yang diwakafkan), seperti pada kalimat Habbasa al-faras fi sabilillah (ia mewakafkan kuda dijalan Allah SWT) atau ahbasahu, dan jamaknya adalah habais. Kalimat ini berarti bahwa kuda itu diwakafkan kepada tentara untuk ditungganginya ketika sedang malakukan jihad.
Sedangkan menurut Al-Azhari, ia mengatakan bahwa al-hubus jamak dari al-habis, yang berarti setiap benda yang diwakafkan oleh pemiliknya sebagai wakaf, haram hukumnya apabila dijual atau diwariskan, baik tanahnya, pepohonannya dan semua peralatannya. Dalam hadist tentang zakat dinyatakan bahwa Khalid telah menjadikan budak dan keturunan darinya sebagai hubus (wakaf) di jalan Allah SWT. Pemakaian kalimat yeng benar untuk kata habas adalah seperti pada kalimat: habastu yang berarti waqoftu (saya telah mewakafkan). Sedangkan kata tahabbasa sinonimnya adalah tawaqqafa.
Ibnu Mandzur menambahkan tentang kata wakafaseperti pada kalimat: Wakafa al-arha ala al-masakin (Dia mewakafkan tanah kepada orang-orang miskin). Sedangkan dalam kamus Mukhtar As-Shahah: Li al-masakin waqfan yang berarti habasahu (mewakafkannya untuk orang-orang miskin).[1]
Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “waqf” yang bererti “al-Habs”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359). Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah) (al-Jurjani: 328). Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut:
Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.
Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376). Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan (al-Syairazi: 1/575).
Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185). Itu menurut para ulama ahli fiqih. Bagaimana menurut undang-undang di Indonesia?. Dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. 
Dari beberapa definisi wakaf tersebut, dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU No. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Dalil yang menjadi dasar di syariatkannya ajaran wakaf bersumber dari pemahaman teks ayat Al-Quran dan juga As-Sunnah. Tidak ada dalam ayat Al-Quran yang secara tegas menjelaskan tentang ajaran wakaf. Yang ada adalah pemahaman konteks terhadap ayat al quran yang dikategorikan sebagai amal kebaikan.[2] Di antaranya ada dalam Al Quran surat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan (Q.S. Al-Hajj: 77).

لَن تَنَالُواْ الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya(Q.S. Ali Imran: 92).

مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّئَةُ حَبَّةٍ وَاللّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[3]adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui (Q.S. Al-Baqarah: 261)

Kemudian dalam hadist Nabi yang menyinggung masalah sadaqoh jariyah yaitu:
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إذامات ابن ادم انقطع عمله الآ
 من ثلاث، صدقة جارية، اوعلم ينتفع به، او ولد صا لح يدعوله (رواه مسلم) 
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: "apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia maka putuslah amalnya kecuali tiga perkara, shadaqoh jariyah, ilmt yang bermanfaat, anak sholeh yang mendoakan orang tuanya". (HR. Muslim)




[1] Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif  (Jakarta: Penerbit Khalifa, 2005), hlm 44-45
[2] Departemen Agama, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2004), hlm. 23-25
[3] Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

Mukjizat Alquran tentang Kemenangan Bizantium

Pada abad ke-7 M, Kekaisaran Bizantium Kristen mengalami kekalahan dari bangsa Persia. Akibatnya, Bizantium pun kehilangan Yerusalem. Tak ada yang percaya bahwa Bizantium akan bangkit dari kekalahannya.

Namun, pada tahun 620 Masehi, hampir tujuh tahun dari kekalahan Bizantium itu, turun wahyu kepada Nabi Muhammad SAW yang mengabarkan bahwa Bizantium akan kembali meraih kemanangan. Firman Allah itu tercantum dalam surah Ar-Ruum [30] ayat 1-4:

"Alif, Lam, Mim. Telah dikalahkan bangsa Romawi, di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang)." (Alquran, 30:1-4)

Pada zaman itu, kaum kafir menertawakan firman Allah itu. karena bagi mereka, sangat mustahil Bizantium dalam waktu dekat akan bangkit menang. Betapa tidak. Bizantium waktu itu telah menderita kekalahan sedemikian hebat hingga nampaknya mustahil baginya untuk mempertahankan keberadaannya sekalipun, apalagi merebut kemenangan kembali.

Tidak hanya bangsa Persia, tapi juga bangsa Avar, Slavia, dan Lombard menjadi ancaman serius bagi Kekaisaran Bizantium. Bangsa Avar telah datang hingga mencapai dinding batas Konstantinopel.

Kaisar Bizantium, Heraklius, telah memerintahkan agar emas dan perak yang ada di dalam gereja dilebur dan dijadikan uang untuk membiayai pasukan perang. Banyak gubernur memberontak melawan Kaisar Heraklius dan dan Kekaisaran tersebut berada pada titik keruntuhan. Mesopotamia, Cilicia, Syria, Palestina, Mesir dan Armenia, yang semula dikuasai oleh Bizantium, diserbu oleh bangsa Persia. (Warren Treadgold, A History of the Byzantine State and Society, Stanford University Press, 1997, s. 287-299.)

Pendek kata, setiap orang menyangka Kekaisaran Bizantium akan runtuh. Tetapi tepat di saat seperti itu, ayat pertama Surat Ar Ruum diturunkan dan mengumumkan bahwa Bizantium akan mendapatkan kemenangan dalam beberapa+tahun lagi. Kemenangan ini tampak sedemikian mustahil sehingga kaum musyrikin Arab menjadikan ayat ini sebagai bahan cemoohan. Mereka berkeyakinan bahwa kemenangan yang diberitakan Alquran takkan pernah menjadi kenyataan.

Firman Allah SWT itu akhirnya menjadi kenyataan. Sekitar tujuh tahun setelah diturunkannya ayat pertama Surat Ar Ruum tersebut, pada Desember 627 Masehi, perang penentu antara Kekaisaran Bizantium dan Persia terjadi di Nineveh. Dan kali ini, pasukan Bizantium secara mengejutkan mengalahkan pasukan Persia.

Beberapa bulan kemudian, bangsa Persia harus membuat perjanjian dengan Bizantium, yang mewajibkan mereka untuk mengembalikan wilayah yang mereka ambil dari Bizantium. (Warren Treadgold, A History of the Byzantine State and Society, Stanford University Press, 1997, s. 287-299.)

Akhirnya, "kemenangan bangsa Romawi" yang diumumkan oleh Allah dalam Alquran, secara ajaib menjadi kenyataan. Keajaiban lain yang diungkapkan dalam ayat ini adalah pengumuman tentang fakta geografis yang tak dapat ditemukan oleh seorangpun di masa itu.

Dalam ayat ketiga Surat Ar-Ruum, diberitakan bahwa Romawi telah dikalahkan di daerah paling rendah di bumi ini. Ungkapan "Adnal Ardli" dalam bahasa Arab, diartikan sebagai "tempat yang dekat" dalam banyak terjemahan.

Namun ini bukanlah makna harfiah dari kalimat tersebut, tetapi lebih berupa penafsiran atasnya. Kata "Adna" dalam bahasa Arab diambil dari kata "Dani", yang berarti "rendah" dan "Ardl" yang berarti "bumi". Karena itu, ungkapan "Adnal Ardli" berarti "tempat paling rendah di bumi".

Yang paling menarik, tahap-tahap penting dalam peperangan antara Kekaisaran Bizantium dan Persia, ketika Bizantium dikalahkan dan kehilangan Jerusalem, benar-benar terjadi di titik paling rendah di bumi.

Wilayah yang dimaksudkan ini adalah cekungan Laut Mati, yang terletak di titik pertemuan wilayah yang dimiliki oleh Syria, Palestina, dan Jordania. "Laut Mati", terletak 395 meter di bawah permukaan laut, adalah daerah paling rendah di bumi.

Ini berarti bahwa Bizantium dikalahkan di bagian paling rendah di bumi, persis seperti dikemukakan dalam ayat ini.

sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/04/17/m2m57b-subhanallah-inilah-mukjizat-alquran-tentang-kemenangan-bizantium