Model Manajemen Wakaf di Negara-negara Islam
Dalam catatan sejarah Islam, sudah dipraktikkan baik dalam bentuknya yang masih tradisional/konvensional, dalam “arti bentuk wakaf berupa benda-benda tidak bergerak maupun wakaf produktif berupa wakaf uang atau wakaf tunai (cash waqh) bahkan, wakaf tunai (cash waqh) ternyata sudah diperaktikan sejak awal abad kedua hijriyah. M Syafii Antonio mengutip hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, menjelasakan bahwa Imam az Zuhri (w. 124 H) salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar kodifikasi hadist (tadwnin- al hadist) mengeluarkan fatwa yang berisi anjuran melakukan wakaf dinar dan dirham untuk membangun sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Adapun caranya adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf”.66
Menurut Muhammad Abu Zahrah, dalam bukunya Muhadarat fi al-Waqf (Pembahasan Mengenai Wakaf), “wakaf telah banyak dipraktekkan pada zaman pemerintahan kerajaan Bani Umaiyah yaitu di Mesir dan Syam dan daerah-daerah bagian Islam yang telah dibuka dalam pemerintahan tersebut. Harta wakaf ketika itu terdiri dari tanah, bangunan dan kebun-kebun. Bahkan pada zaman pemerintahan Hisyam ibn Abdul Malik telah dikukuhkan jabatan khusus bagi pengurus harta wakaf”.67
Muhammad Abu Zahrah juga menyebutkan bahwa “pembangunan Masjid al-Haram dan Masjid al-Aqsa adalah sebahagian daripada bukti sejarah di mana ibadah wakaf memegang peranan penting dalam pembangunan kehidupan umat manusia”.68
Di beberapa negara muslim saat ini pun aktivitas perwakafan tidak terbatas hanya kepada tanah dan bangunan, “tetapi telah dikembangkan kepada bentuk-bentuk lain yang bersifat produktif”.69 Ada beberapa Negara Islam yang memiliki manajemen wakaf produktif, diantaranya:
1. Manajemen Wakaf di Mesir
Di Negara ini wakaf berkembang dengan menakjubkan karena memang dikelola secara profesional. Meski begitu masih juga ada masalah yang muncul dalam memenajnya, sehingga pemerintah ”Mesir terus melakukan pengkajian untuk mengembangkan manajemen wakaf dengan tetap berlandaskan syariah”.70
Pada masa Pemerintahan Muhammad Ali Pasya, ”perwakafan di Mesir tidak terurus secara baik sehmgga tidak memberikan kontribusi yang berarti bagi pembangunan ekonomi Mesir. Wakaf pada masa tersebut menjadi asset yang terlantar. Hal itu disebabkan konsentrasi pemerintahan Muhammad Ali Pasya terfokus pada upaya mewujudkan stabilitas politik internal dalam negeri dalam rangka menghadapi masuknya pasukan barat ke Mesir. Kendatipun adanya usaha meningkatkan perekonomian Mesir, namun wakaf tetap secara terabaikan. Dia berusaha mengembalikan tanah kepada petani sebelumnya yang diambil oleh negara. Ironisnya, petani tetap saja berurusan dengan negara”.71
Keinginan kuat untuk mengelola wakaf secara baik baru muncul pada masa pasca pemerintahan Muhammad Ali Pasya. ”Usaha pertama yang dilakukan oleh pemerintah Mesir adalah menertibkan tanah wakaf melalui penjagaan dan pemeliharaan serta diarahkan pada tujuan kemaslahatan umum sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Selain itu, pemerintah juga memberikan perlindungan kepada para mustahiq. Langkah selanjutnya yang dilakukan pemerintah adalah membentuk diwan al-waqf yang menjadi cikal bakal departemen wakaf”.72
Kendatipun pemerintah Mesir telah membentuk satu departemen untuk mengelola wakaf secara serius, tetapi ternyata persoalan lainnya muncul seperti tidak adanya rasa keadilan yang ditetapkan oleh para pewakaf (wakif), pengawasan dan pengelolan yang kurang profesional. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaannya tidak jarang wakif dalam berwakaf tidak memperlihatkan rasa keadilan dalam masyarakat. Karena pada saat itu belum ada aturan yang mengatur bagaimana hak dan kewajiban wakif dan dengan pihak yang lain, sehingga terkesan aturan tersebut ditentukan wakif sendiri, terutama yang berkaitan dengan orang-orang yang berhak menerima harta wakaf tersebut. Kondisi demikian memunculkan sikap malas dan menurunkan etos kerja sebahagian mustahiq. Sebagian dari penerima wakaf hanya menggantungkan ekonominya dari wakaf itu saja, sehingga mereka malas untuk bekerja dan menambah deretan pengangguran dalam masyarakat karena di antara mereka tidak lagi punya etos kerja yang baik. Di samping itu, terdapat pula para nazir yang menyalahgunakan wewenangnya untuk melakukan praktek riba.
Melihat ketidakteraturan pegelolaan wakaf tersebut, beberapa kalangan masyarakat yang memiliki perhatian pada persoalan wakaf mendesak pemerintah untuk segera melakukan perubahan peraturan perundang-undangan wakaf. ”Pada tahun 1926 masyarakat mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Tetapi ide dan wacana yang dikembangkan itu justru mengundang polemik yang panjang di kalangan masyarakat luas”.73
Pemerintah akhirnya mensahkan undang-undang tersebut meskipun proses menuju pengesahan itu membutuhkan waktu yang agak panjang. ”Pada tahun 1946 peraturan perundang-undangan tentang wakaf menjadi sebuah kenyataan dan menjadi sebuah putusan politik dengan dikeluarkannya undang-undang No. 48 tahun 1946 yang isinya mencakup terjadinya wakaf dan syarat-syaratnya”.74
”Pengesahan undang-undang tersebut menjadi harapan baru bagi umat Islam Mesir untuk mengelola asset wakaf. Akan tetapi ternyata setelah undang-undang tersebut disahkan, pcrsoalan muncul. Persoalan itu terlihat pada semakin tajamnya perbedaan antara pemeritah dengan ulama, terutama yang berkaitan dengan terjadinya wakal. Menurut undang-undang yang baru saja disahkan dijelaskan bahwa wakif boleh menarik kembali harta yang telah diwakafkan ataupun mengubahnya, tetapi tidak diperbolehkan untuk menarik wakaf untuk diri sendiri. Wakaf jenis inilah yang terbanyak beredar di Mesir pada masa sebelumnya. Misalnya, wakaf yang diberikan untuk kepentingan publik seperti masjid. Dalam hal ini wakif tidak dibolehkan menarik kembali dan tidak boleh mengubahnya”.75 Di samping itu undang-undang ini juga memuat tentang berakhimya wakaf muaqqat (wakaf yang dibatasi waktunya). ”Menurut undang-undang ini wakaf muaqqat hanya terbatas pada wakaf ahli, sedangkan wakaf khari tidak dibatasi waktunya. Dalam undang-undang ini juga dicantumkan tentang pihak-pihak yang berhak atas harta wakaf, nazir, kekuasaan nazir atas harta wakaf dan pengembangannya”.76
Pada tahun 1952 pemerintah melakukan revisi terhadap undang-undang ini dengan mengeluarkan ”Undang-Undang No. 180 tahun 1952 yang berisi tentang penghapusan peraturan wakaf ahli dengan disertai peraturan pelaksanaannya”.77 Namun, di dalamnya tidak dibahas bagaimana mekanisme pengawasan dan siapa yang bertanggung jawab serta bagaimana prosedur membelanjakannya. Inilah kelemahan pertama yang terdapat dalam undang-undang baru ini. Dengan kata lain, undang-undang ini ternyata juga belum dapat menjawab persoalan dan subtansi yang diinginkan oleh masyarakat.
Menyadari hal yang demikian maka pada tahun yang sama pemerintah kembali mengajukan rancangan undang-undang yang akhirnya ”disahkan menjadi sebuah produk hukum No. 247 tentang pengawasan terhadap wakaf khairi dan penertiban belanja pemeliharaan harta wakaf. Di samping berisi tentang bagaimana pengawasan, prosedur pembelanjaan, dan pemeliharaan harta wakaf, undang-undang ini juga mengatur tentang kebolehan wizarat al-auqaf dengan persetujuan Majelis Tinggi Wakaf, untuk menyalurkan apakah seluruh atau pun sebagian saja dan harta wakaf jika wakif tidak menentukan penerima wakaf”.78
Pada tahun 1957 pemerintah mengajukan lagi rancangan undang-undang wakaf yang baru yang akhirnya disahkan menjadi sebuah Undang-Undang No. 30 tahun 1957. Melihat ketentuan hukum yang ada dalam undang-undang ini, pada dasamya tidaklah banyak memuat hal-hal yang baru, kecuali sekedar menyempumakan dan meluruskan undang-undang sebelumnya. Adapun yang terbaru dari undang-undang ini hanyalah menyangkut tentang pendirian rumah sakit yang berada di kota Kairo, Kemudian pada tahun yang sama disusul dengan undang-undang (qanun) No. 152 tahun 1957 yang mengatur tentang penggantian tanah pertanian yang diwakafkan untuk tujuan kebaikan.
Berkaitan dengan pengaturan tentang penggantian tanah pertanian, pemerintah mengeluarkan undang-undang tersendiri, yaitu ”undang undang No. 20 tahun 1957 yang memuat tentang aturan lembaga perekonomian”.79Kemudian selanjutnya dilengkapi dengan peraturan ”No. 51 tahun 1958, yang merupakan penyempurnaan dari undang undang No. 152 tahun 1957. Dengan demikian sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim secara terus menerus telah melakukan proses pematangan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan wakaf dengan senantiasa merujuk kepada syari’at Islam. Salah satu hasil dari proses ini ialah pada tahun 1971 pemerintah berhasil membentuk suatu badan yang khusus menangani persoalan wakaf dan pengembangannya yang disesuaikan dengan Qanun No. 80 tahun 1971. Badan ini bertugas melakukan kerjasama dalam pengawasan dan memeriksa tujuan undang-undang wakaf dan program wizarat al-auqaf. Di samping itu, badan ini juga diberi wewenang untuk mengusut dan melaksanakan semua pendistribusian wakaf serta semua kegiatan yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan”.80
Dalam rangka memudahkan dalam pelaksanaan undang-undang ini, maka pemerintah membentuk struktur kepengurusan wakaf yang terdiri dari ketua badan atau lembaga dan direktur umum. ”Direktur umum dibantu oleh tiga direktur umum lainnya, yang membidangi harta benda dari pengembangan, bidang teknik (pengukuran) dan bidang pertanian. Di samping itu, kepengurusan ini juga dibantu oleh empat orang wakil menteri, yaitu kementerian pertanian, kementerian kependudukan dan kementerian ekonomi serta kementerian perwakafan. Kemudian terdapat juga penasehat dan majelis pengadilan tinggi yang dipilih oleh majelis dari seorang ahli hukum Islam yang dipilih oleh menteri perwakafan. Adapun harta benda yang dikelola oleh badan ini: pertama, harta yang dikhususkan oleh pemerintah untuk anggaran umum, kedua, barang yang menjadi jaminan hutang, ketiga, hibah, wasiat dan sedekah, keempat, dokumen, uang atau harta yang harus dibelanjakan dan sesuatu yang sudah menjadi haknya untuk dikelola sesuai dengan Undang-undang No. 70 tahun 1972. Kelima, hasil lain yang berguna untuk menmgkatkan dan mengembangkan harta wakaf”.81
Sebagai negara yang sudah cukup lama mengelola harta wakaf, Mesir telah berhasil mengembangkan wakaf untuk pengembangan ekonomi umat. Di antara faktor-faktor yang menjadi pendukungnya adalah: ”Pertama, pihak pengelola wakaf menyimpan hasil harta wakaf khair di bank sehingga dapat berkembang. Kedua, untuk pembangunan ekonomi umat, pemerintah khususnya Departemen Perwakafan ikut berpartisipasi dalam mendirikan Bank Syari’ah. Ketiga, Departemen Perwakafan melakukan kerjasama dengan pihak lain sebagai penanam modal untuk pendirian pabrik, rumah sakit Islam, pemeliharaan ternak, bank untuk perumahan dan bangunan dan lain-lain. Keempat, Departemen Perwakafan mengelola tanah wakaf yang kosong untuk dikelola secara produktif melalui pendirian lembaga lembaga perekonomian, bekerja sama dengan perusahaan besi dan baja”.82
Di samping itu, dalam rangka pengembangan wakaf departemen wakaf tidak hanya menanamkan sahamnya dalam skala besar tetapi juga pada penanaman dalam skala kecil. Misalnya, ”membantu permodalan usaha kecil dan menengah serta membantu kaum dhuafa’, menjaga dan memelihara kesehatan masyarakat melalui pendirian rumah sakit dan penyediaan obat-obatan dan poliklinik, mendirikan tempat-tempat ibadah dan lembaga pendidikan serta ikut serta dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan”.83
Dengan demikian terlihat jelas bahwa manajemen wakaf di Mesir dikelola secara serius dan produktif oleh badan wakaf yang dibentuk oleh pemerintah dalam rangka membantu kepentingan masyarakat baik di bidang sosial, agama, pendidikan, ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan. Pengelolaannya juga terdiri dari tenaga-tenaga yang profesional dan sistem pengelolaannya juga didukung oleh peraturan perundang-undangan yang memadai serta mudah untuk diterapkan.
2. Manajemen Wakaf di Arab Saudi
Negara padang pasir pusat turunya agama Islam adalah negara kerajaan yang mewarisi ajaran Islam. Kerajaan Saudi Arabia berdasarkan syariat Islam dan konstitusinya adalah sebagaimana yang diajarkan oleh Islam.
Pemerintah kerajaan Saudi Arabia membuat peraturan bagi majelis tinggi wakaf dengan ketetapan ”No. 574 tanggal 16 Rajab 1386 sesuai dengan surat keputusan kerajaan No. M/35, Tanggal 18 Rajab 1386. Majelis tinggi wakaf diketuai oleh Menteri Haji dan wakaf, yakni menteri yang menguasai wakaf dan menguasai permasalahan-permasalahn perwakafan sebelum dibentuk majelis tinggi wakaf. Majelis tinggi wakaf mempunyai wewenang untuk membelanjakan hasil pengembanganwakaf dan menentukan langkah-langkah dalam mengembangkan wakaf bedasarkan syarat-syarat yang ditentukan wakif dan menajemen wakaf”.84
Disamping itu majelis tinggi wakaf juga mempunyai beberapa wewenang antara lain85:
1) Melakukan pendataan wakaf serta menentukan cara-cara pengelolahannya
2) Menenentukan langkah-langkah umum untuk menanam modal, pengembangan dan peningkatan harta wakaf
3) Mengetahui kondisi wakaf yang ada.
4) Membelanjakan harta wakaf untuk kebijakan menurut syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh wakif dan sesuai syariat islam
5) Menetapkan anggaran tahunan demi kelangsungan wakaf dan mendistribusikan hasil pengembangan harta wakaf tersebut menurut pertimbangan-pertimbangan tertentu.
6) Menggambarkan wakaf secara produktif dan mengumumkan hasil wakaf yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah86.
3. Manajemen Wakaf di Yordania
Secara administratif, pelaksanaan manajemen wakaf dikerajaan Yordania didasarkan pada “Undang-Undang Wakaf Islam No. 25/ 1947”.87 Dalam UU tersebut bahwa “yang termasuk dalam urusan kementrian wakaf dan kementerian agama Islam adalah wakaf mesjid, madrasah lembaga-lembaga Islam, rumah-rumah yatim, tempat pendidikan, lembaga-lembaga syariah, kuburan-kuburan Islam, Urusan-urusan haji dan urusan fatwa. UU wakaf yang mengatur tentang peraturan UU wakaf No. 26/ 1966. dalam pasal 3, secara rinci disebutkan bahwa tujuan kementrian wakaf dan urusan agama Islam”88antara lain adalah sebagai berikut:
1) Memelihara masjid dan harta wakaf serta mengendalikan urusan-urusanya.
2) Mengembangkan masjid untuk menyampaikan risalah Nabi Muhamad SAW dengan mewujudkan pendidikan Islam
3) Membakar semangat zihad dan menguatkan jiwa Islam serta meningkatkan kualitas keimanan
4) Menumbuhkan akhlak Islam dan menguatkan dalam kehidupan kaum muslimin
5) Menguatkan semangat Islam dan menggalakan pendidikan agama dengan mendirikan lembaga-lembaga dan sekolah untuk menghafal Al-Quran
6) Menyosialisasikan budaya Islam, menjaga peninggalan Islam melahirkan kebudayaan baru Islam dan menumbuhkan kesadaran beragama.89
4. Manajemen Wakaf Di Bangladesh
Disamping negara termiskin, Bangladesh juga merupakan negara terbelakang dengan jumlah penduduk yang besar, yaitu ”sekitar 120 juta jiwa dengan luas daerah 55.000 mill persegi”. Selain itu, kondisi alam seringkali kurang menguntungkan karena negara ini termasuk sering tertimpah bencana banjir dengan angin topan. Peningkatan populasi Bangladesh juga cukup padat, yaitu 717 orang per km persegi dan juga termasuk salah satu dari negara yang mempunyai sumber daya alam yang sangat terbatas. Berbagai dimensi kemiskinan ini antara lain tercermin dari penurunan pendapatan sektor pertanian, ketidakmerataan distribusi pendapatan yang cenderung menguntungkan masyarakat perkotaan, perbedaan gaji antara sektor formal dan informal, peningkatan dramatis dalam biaya hidup, mencuatnya beberapa masalah penemuan kesehatan masyarakat, pengangguran dan imigrasi internal.
Di Bangladesh wakaf telah dikelolah oleh ”Social Investement Ltd. (SIBL) Bank ini telah mengembangkan pasar modal sosial (the voluntary capital market). Instrumen-instrumen keuangan Islam yang telah dikembangkan,antara lain: surat obligasi pembangunan perangkat wakaf, sertifikat wakaf tunai, sertifikat wakaf keluarga, obligasi pembangunan perangkat mesjid, saham komunitas mesjid, sertifikat pembayaran zakat, sertifikat simpanan haji, dan lain-lain”.92
66 Ahmad Djunaidi, Thobieb Al-Asyhar, “Menuju Era Wakaf Produktif” (Jakarta: Mumtaz Publishing, 2007), hlm. 27-44
67 Muhammad Abu Zahrah, “Muhadarat fi al-Waqf”, (Mesir: Dar al-Fikr al-'Arabiy, 1971), hlm. 5
69 Uswatun Hasanah, “Peranan Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial (Studi Kasus Pengelolaan Vakaf di Jakarta Selatan)”, Disertasi tidak diterbitkan, (IAIN Syarif Hidayatullah, 1997), hlm. 81
70 OpCit, Ahmad Djunaidi, Thobieb Al-Asyhar, “Menuju Era Wakaf Produktif” (Jakarta: Mumtaz Publishing, 2007), hlm. 27-44
71 Ahmad Syalabi, “Mausu'ah al-Tarikh al-Islamiy”, (Mesir: Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1979), hlm. 357.
73 Pendapat yang berkembang pada saat itu terbagi kepada tiga kelompok. (1), kelompok yang berpendapat bahwa tidak diperlukan lagi aturan yang mengatur tentang wakaf dan seyogyanya lembaga wakaf dibubarkan, denagn alasan: a. banyaknya orang yang hidup bersenang-senang dengan tanah wakaf yang jumlahnya mencapai 1/8 (seperdelapan) dari seluruh tanah pertanian di Mesir dan tidak dikelola secara produktif. b. wakaf ahli menimbulkan pengangguran. c. sebagian nazir menyelewengkan harta wakaf. d. pertentangan antara para nazir, kekacauan pelaksanaan wakaf, dan perbedaan pendapat di antara para penegak hukum menyebabkan lemahnya lembaga wakaf. e. jumlah orangnya makin banyak menyebabkan bagian yang diterima masing-masing generasi semakin kecil. f. harta wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, baik mustahiq maupun nazir kurang memiliki rasa tanggung jawab untuk melestarikan harta wakaf tersebut. (2) kelompok yang mendukung rancangan undang undang tersebut untuk segera disahkan. Namun terhadap wakaf ahli dan khairi mereka sepakat dengan kelompok pertama bahwa jenis wakaf ini tidak lagi relevan dengan perkembangan masyarakat Mesir. (3) Kelompok yang mendukung semua rancangan tersebut dan menentang pembubaran lembaga wakaf, dengan alasan bahwa terjadinya kesemrawutan pengelolaan wakaf disebabkan oleh pengelolaan yang tidak profesional dan belum adanya aturan yang mengatur sistem kerja pengelola dan wakif.
74 Jumhuriyyah Misr al-‘Arabiyah, ”Qawanin al-Waqf wa al-Hikr wa al-Qararat al-Tanfiziyah”, (Kairo: al-Hai’ah al-Ammah li Syuun al-Matabi al-amiriyah, 193), hlm. 1-4.
75 Jumhuriyyah Misr al-‘Arabiyah, ”Qawanin al-Waqf wa al-Hikr wa al-Qararat al-Tanfiziyah”, (Kairo: al-Hai’ah al-Ammah li Syuun al-Matabi al-amiriyah, 193), hlm. 1-4.
80 Muhammad Abdul Manan, “Teori dan Praktek Perekonomian Islam”, diterjemahkan oleh M. Nastagin, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993), hlm. 385.
82 Hasan Abdullah al-Amin (ed), “Idarah wa Tassmir Mumtalakat al-Auqaf”,(Jeddah: Ma’had al-Islamiy li al-Buhuts wa al-Tadrib al-Bank al-Islamiy, 1989). hlm. 344.
83 Hasan Abdullah al-Amin (ed), “Idarah wa Tassmir Mumtalakat al-Auqaf”, (Jeddah: Ma’had al-Islamiy li al-Buhuts wa al-Tadrib al-Bank al-Islamiy, 1989). hlm. 344.
84 Ahmad Djunaidi, Op.cit, hlm. 27-44
85 Uswatun Hasanah, Op.cit, hlm. 83-84
86 Ahmad Syalabi, ”Mausu'ah al-Tarikh al-Islamiy”, (Mesir: Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1979), hlm. 357
87 Ahmad Djunaidi, Thobieb Al-Asyhar, “Menuju Era Wakaf Produktif” (Jakarta: Mumtaz Publishing, 2007), hlm. 27-44
88 Ahmad Djunaidi, Thobieb Al-Asyhar, “Menuju Era Wakaf Produktif” (Jakarta: Mumtaz Publishing, 2007), hlm. 27-44
89 Ahmad Djunaidi, Thobieb Al-Asyhar, “Menuju Era Wakaf Produktif” (Jakarta: Mumtaz Publishing, 2007), hlm. 27-44
92 Ahmad Djunaidi, Thobieb Al-Asyhar, “Menuju Era Wakaf Produktif” (Jakarta: Mumtaz Publishing, 2007), hlm. 27-44
Comments
Post a Comment