Faktor Pendukung dan Penghambat otonomi daerah
Untuk merealisasikon paradigma otonomi daerah yang baru ini diperlukan sejumlah faktor pendukung.
Pertama, menyesuaikan sekurang-kurangnya 15 Undang-undang yang selama ini mengatur kewenangan yang kini diserahkan kepada daerah otonom. Undang-undang yang perlu diubah ialah UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 2 Tahun 1992 tentang Budi Daya Tanam, UU tentang Tata Ruang, UU yang mengatur Perhubungan Darat, Laut dan Udara, UU tentang Tenaga Keqa, UU tentang Penanaman Modal, UU tentang Kesehatan, sejumiah UU yang mengatur Pekerjaan Umum, sejumlah UU yang mengatur Perdagangan dan industri, UU tentang Lingkungan Hidup, UU tentang Koperasi, UU tentang Pajak dan Retribusi Daerah, dan UU yang mengatur tata ruang dan pertanahan. Semua UU ini dibuat pada masa Orde Baru berdasarkan paradigma kekuasaan yang "satu terpusat dan seragam". Karena itu, DPR dan Pemerintah hasil Pemilu 1999 harus menetapkan perubahan sejumlah UU tersebut sebagai prioritas utama. Jiwa dan arah UU Otonomi Daerah yang baru itu sangat ditentukan oleh bentuk dan arah perubahan sejumlah UU.
Kedua, konsistensi pemerintah untuk bertindak sesuai dengan jiwa dan arah otonomi daerah yang baru tersebut. Kabinet Album Keluarga besar Bangsa Indonesia yang dibentuk oleh Abdurrachman Wahid, Megawati, Amin Rais, Akbar Tanjung, dan Wiranto ini jelas tidak konsisten dengan jiwa, arah, dan bentuk kebijakan yang dikehendaki UU No. 22 Tahun 1999 karena masih dibentuk kementerian koperasi, tenaga kerja, penanaman modal, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, kesehatan, pendidikan, perdagangan dan industri, dan pertanian secara tersendiri. Apakah pemerintah, dan khususnya para menteri yang membidangi kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom, akan bersedia mengurangi kekuasaannya? Menteri Negara Otonomi Daerah pasti harus melakukan pertarungan dengan departemen lain dalam mewujudkan UU Otonomi Daerah tersebut.
Ketiga, penyebarluasan dan pendalaman jiwa, arah, dan bentuk otonomi daerah yang dikehendaki UU tersebut kepada sebanyak mungkin pihak, khususnya para pejabat pemerintah di pusat dan daerah, politisi di Jakarta, para aktor politik lokal dalam Ranah Kekuasaan Lokal, Ranah Masyarakat Warga dan Ranah Ekonomi Lokal. Para penjabat Pemerintah Pusat dan daerah, sipil dan tentara, dan politisi Pusat (bahkan sejumlah politisi lokal) perlu memahami dan mendalami paradigma baru ini karena paradigma kekuasaan lama itu tidak saja telah menjadi pola perilaku (pattern for behavior) bagi mereka tetapi juga menjadi perilaku yang mempola (pattern of behavior). Mengubah perilaku, apalagi mengubah pemahaman dan kesadaran, yang telah terbentuk selama beberapa dekade bukanlah pekerjaaan yang mudah. Akan tetapi bila proses pemahaman jiwa, arah dan bentuk kebijakan otonomi daerah itu disertai penjabarannya dalam bentuk do and don't, dan dengan mekanisme penegakan berupa insentif dan disinsentif, maka bukan tidak mungkin mereka itu berubah. Sebaliknya, para aktor politik yang berkecimpung dalam Ranah Kekuasaan Lokal, Ranah Masyarakat Warga Lokal, dan Ranah Ekonomi Lokal juga perlu memahami jiwa, arah dan bentuk kebijakan otonomi daerah yang baru ini sehingga secara sinerjik dapat mengajukan tuntutan yang efektif untuk mewujudkan otonomi daerah tersebut.
Keempat, otonomi daerah ini akan dapat diwujudkan bila terdapat aktor politik lokal dalam jumiah dan kualitas yang memadai untuk berprakarsa, merumuskan usul, membicarakan don memperdebatkan, menyepakati, memutuskan, melaksanakan, mengawasi, dan mengevaluasi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik mengenai salah satu dari kewenangan wajib tersebut. Bentuk dan arah kebijakan dalam masing-masing 11 jenis kewenangan itu akan ditentukan oleh para aktor politik lokal ini. Aktor politik lokal ini tidak saja yang berkiprah pada partai politik, DPRD, don Pemda (Ranah Kekuasaan lokal), tetapi juga pada LSM, organisasi kemasyarakatan, media massa, kalangan menengah, cendikiawan dan pengamat, dan lembaga pemantau demokratik. Yang diperlukan tidak saja aktor politik lokal yang bergerak dalam dunia ekonomi (Ranah Ekonomi Pasar), tetapi juga yang bergerak pada ranah komunitas agama, adat istiadat, dan suku bangsa. Para aktor politik lokal seperti ini diperlukan karena yang otonom itu bukan saja DPRD dan Pemda, tetapi seluruh warga daerah dalam semua ranah yang disebutkan tersebut. Keterlibatan para aktor yang bergerak di luar Ranah Kekuasaan diperlukan tidak saja untuk mendesak realisasi otonomi daerah tersebut tetapi juga untuk mengontrol ranah kekuasaan agar menghormati otonomi Ranah Masyarakat Warga, otonomi Ranah Ekonomi, dan otonomi komunitas suku bangsa dan agama, dan agar melakukan intervensi kepada ketiga ranah lainnya hanya bila necessary (diperlukan dan diminta).
Kelima, otonomi daerah yang begitu luas akan dapat diwujudkan bila terdapat sumberdaya manusia (pegawai daerah) dalam jumiah dan kualitas yang sesuai. Karena implementasi bentuk dan arah kebijakan mengenal masing-masing 11 jenis kewenangan itu sepenuhnya berada pada jajaran aparat birokrasi daerah (pegawai daerah), tanpa petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari Pusat seperti pada masa Orde baru, maka memang sangat diperlukan pegawai daerah yang ahli dan trampil dalam bidang: tata ruang dan pertanahan, pendidikan dan kebudayaan, tenaga kerja, penanaman modal, perdagangan dan industri, lingkungan hidup, kesehatan, pekerjaan umum, perhubungan, pertanian, dan koperasi (seharusnya kebudayaan dan koperasi tidak diurus oleh pemerintah baik pusat maupun daerah karena merupakan ranah masyarakat warga, ranah komunitas dan ranah ekonomi). Yang menjadi persoalan selama ini ialah pegawai yang berkualitas ini menumpuk di kota besar di Jawa, khususnya di Jakarta. Karena itu, realisasi otonomi daerah ini mengharuskan adanya: mutasi pegawai dari Pusat kepada daerah otonom kabupaten/kota, dan redistribusi SDM dari kota besar ke daerah otonom kabupaten/kota yang langka SDM berkualitas tersebut. Apakah para pegawai negeri di berbagai departemen itu bersedia pindah? Apakah SDM di kota besar bersedia bekerja di daerah terpencil? Sebaliknya, apakah mereka ini dapat survive dan hidup layak di daerah tersebut?
Dan terakhir, sumber pendapatan daerah untuk membiayai otonomi daerah. Pemerintah telah menjamin sumber pendapatan daerah seperti yang diuraikan di atas tetapi masih terdapat sekurang-kurangnya dua persoalan. Pertama, kemampuan daerah otonom mengelola sumber pendapatan daerah tersebut dalam arti kemampuan menentukan penggunaan anggaran secara tepat sasaran, dan kemampuan mempertanggungjawabkan penerimaan dan pengeluaran baik secara administratif maupun secara politik dan hukum. Dan kedua, daerah otonom yang kurang memiliki sumberdaya alam yang memadai niscaya akan mendapatkan PAD dan Dana Perimbangan dari Pusat dalam jumlah yang kurang memadai. Daerah otonom seperti ini mungkin akan dapat bertahan dan berkembang bila memiliki sumberdaya lainnya, seperti pariwisata, kerajinan, dan sumberdaya manusia yang handal. Sebaliknya, daerah otonom yang memiliki sumberdaya alam yang masih terpendam tetapi memerlukan kapital yang besar untuk mengolahnya mungkin memerlukan uluran tangan dari luar.
Faktor-faktor pendukung yang disebutkan di atas sekaligus dapat pula dijadikan sebagai faktor penghambat bila tidak terpenuhi.
Pertama, menyesuaikan sekurang-kurangnya 15 Undang-undang yang selama ini mengatur kewenangan yang kini diserahkan kepada daerah otonom. Undang-undang yang perlu diubah ialah UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 2 Tahun 1992 tentang Budi Daya Tanam, UU tentang Tata Ruang, UU yang mengatur Perhubungan Darat, Laut dan Udara, UU tentang Tenaga Keqa, UU tentang Penanaman Modal, UU tentang Kesehatan, sejumiah UU yang mengatur Pekerjaan Umum, sejumlah UU yang mengatur Perdagangan dan industri, UU tentang Lingkungan Hidup, UU tentang Koperasi, UU tentang Pajak dan Retribusi Daerah, dan UU yang mengatur tata ruang dan pertanahan. Semua UU ini dibuat pada masa Orde Baru berdasarkan paradigma kekuasaan yang "satu terpusat dan seragam". Karena itu, DPR dan Pemerintah hasil Pemilu 1999 harus menetapkan perubahan sejumlah UU tersebut sebagai prioritas utama. Jiwa dan arah UU Otonomi Daerah yang baru itu sangat ditentukan oleh bentuk dan arah perubahan sejumlah UU.
Kedua, konsistensi pemerintah untuk bertindak sesuai dengan jiwa dan arah otonomi daerah yang baru tersebut. Kabinet Album Keluarga besar Bangsa Indonesia yang dibentuk oleh Abdurrachman Wahid, Megawati, Amin Rais, Akbar Tanjung, dan Wiranto ini jelas tidak konsisten dengan jiwa, arah, dan bentuk kebijakan yang dikehendaki UU No. 22 Tahun 1999 karena masih dibentuk kementerian koperasi, tenaga kerja, penanaman modal, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, kesehatan, pendidikan, perdagangan dan industri, dan pertanian secara tersendiri. Apakah pemerintah, dan khususnya para menteri yang membidangi kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom, akan bersedia mengurangi kekuasaannya? Menteri Negara Otonomi Daerah pasti harus melakukan pertarungan dengan departemen lain dalam mewujudkan UU Otonomi Daerah tersebut.
Ketiga, penyebarluasan dan pendalaman jiwa, arah, dan bentuk otonomi daerah yang dikehendaki UU tersebut kepada sebanyak mungkin pihak, khususnya para pejabat pemerintah di pusat dan daerah, politisi di Jakarta, para aktor politik lokal dalam Ranah Kekuasaan Lokal, Ranah Masyarakat Warga dan Ranah Ekonomi Lokal. Para penjabat Pemerintah Pusat dan daerah, sipil dan tentara, dan politisi Pusat (bahkan sejumlah politisi lokal) perlu memahami dan mendalami paradigma baru ini karena paradigma kekuasaan lama itu tidak saja telah menjadi pola perilaku (pattern for behavior) bagi mereka tetapi juga menjadi perilaku yang mempola (pattern of behavior). Mengubah perilaku, apalagi mengubah pemahaman dan kesadaran, yang telah terbentuk selama beberapa dekade bukanlah pekerjaaan yang mudah. Akan tetapi bila proses pemahaman jiwa, arah dan bentuk kebijakan otonomi daerah itu disertai penjabarannya dalam bentuk do and don't, dan dengan mekanisme penegakan berupa insentif dan disinsentif, maka bukan tidak mungkin mereka itu berubah. Sebaliknya, para aktor politik yang berkecimpung dalam Ranah Kekuasaan Lokal, Ranah Masyarakat Warga Lokal, dan Ranah Ekonomi Lokal juga perlu memahami jiwa, arah dan bentuk kebijakan otonomi daerah yang baru ini sehingga secara sinerjik dapat mengajukan tuntutan yang efektif untuk mewujudkan otonomi daerah tersebut.
Keempat, otonomi daerah ini akan dapat diwujudkan bila terdapat aktor politik lokal dalam jumiah dan kualitas yang memadai untuk berprakarsa, merumuskan usul, membicarakan don memperdebatkan, menyepakati, memutuskan, melaksanakan, mengawasi, dan mengevaluasi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik mengenai salah satu dari kewenangan wajib tersebut. Bentuk dan arah kebijakan dalam masing-masing 11 jenis kewenangan itu akan ditentukan oleh para aktor politik lokal ini. Aktor politik lokal ini tidak saja yang berkiprah pada partai politik, DPRD, don Pemda (Ranah Kekuasaan lokal), tetapi juga pada LSM, organisasi kemasyarakatan, media massa, kalangan menengah, cendikiawan dan pengamat, dan lembaga pemantau demokratik. Yang diperlukan tidak saja aktor politik lokal yang bergerak dalam dunia ekonomi (Ranah Ekonomi Pasar), tetapi juga yang bergerak pada ranah komunitas agama, adat istiadat, dan suku bangsa. Para aktor politik lokal seperti ini diperlukan karena yang otonom itu bukan saja DPRD dan Pemda, tetapi seluruh warga daerah dalam semua ranah yang disebutkan tersebut. Keterlibatan para aktor yang bergerak di luar Ranah Kekuasaan diperlukan tidak saja untuk mendesak realisasi otonomi daerah tersebut tetapi juga untuk mengontrol ranah kekuasaan agar menghormati otonomi Ranah Masyarakat Warga, otonomi Ranah Ekonomi, dan otonomi komunitas suku bangsa dan agama, dan agar melakukan intervensi kepada ketiga ranah lainnya hanya bila necessary (diperlukan dan diminta).
Kelima, otonomi daerah yang begitu luas akan dapat diwujudkan bila terdapat sumberdaya manusia (pegawai daerah) dalam jumiah dan kualitas yang sesuai. Karena implementasi bentuk dan arah kebijakan mengenal masing-masing 11 jenis kewenangan itu sepenuhnya berada pada jajaran aparat birokrasi daerah (pegawai daerah), tanpa petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari Pusat seperti pada masa Orde baru, maka memang sangat diperlukan pegawai daerah yang ahli dan trampil dalam bidang: tata ruang dan pertanahan, pendidikan dan kebudayaan, tenaga kerja, penanaman modal, perdagangan dan industri, lingkungan hidup, kesehatan, pekerjaan umum, perhubungan, pertanian, dan koperasi (seharusnya kebudayaan dan koperasi tidak diurus oleh pemerintah baik pusat maupun daerah karena merupakan ranah masyarakat warga, ranah komunitas dan ranah ekonomi). Yang menjadi persoalan selama ini ialah pegawai yang berkualitas ini menumpuk di kota besar di Jawa, khususnya di Jakarta. Karena itu, realisasi otonomi daerah ini mengharuskan adanya: mutasi pegawai dari Pusat kepada daerah otonom kabupaten/kota, dan redistribusi SDM dari kota besar ke daerah otonom kabupaten/kota yang langka SDM berkualitas tersebut. Apakah para pegawai negeri di berbagai departemen itu bersedia pindah? Apakah SDM di kota besar bersedia bekerja di daerah terpencil? Sebaliknya, apakah mereka ini dapat survive dan hidup layak di daerah tersebut?
Dan terakhir, sumber pendapatan daerah untuk membiayai otonomi daerah. Pemerintah telah menjamin sumber pendapatan daerah seperti yang diuraikan di atas tetapi masih terdapat sekurang-kurangnya dua persoalan. Pertama, kemampuan daerah otonom mengelola sumber pendapatan daerah tersebut dalam arti kemampuan menentukan penggunaan anggaran secara tepat sasaran, dan kemampuan mempertanggungjawabkan penerimaan dan pengeluaran baik secara administratif maupun secara politik dan hukum. Dan kedua, daerah otonom yang kurang memiliki sumberdaya alam yang memadai niscaya akan mendapatkan PAD dan Dana Perimbangan dari Pusat dalam jumlah yang kurang memadai. Daerah otonom seperti ini mungkin akan dapat bertahan dan berkembang bila memiliki sumberdaya lainnya, seperti pariwisata, kerajinan, dan sumberdaya manusia yang handal. Sebaliknya, daerah otonom yang memiliki sumberdaya alam yang masih terpendam tetapi memerlukan kapital yang besar untuk mengolahnya mungkin memerlukan uluran tangan dari luar.
Faktor-faktor pendukung yang disebutkan di atas sekaligus dapat pula dijadikan sebagai faktor penghambat bila tidak terpenuhi.