Faktor Pendukung dan Penghambat otonomi daerah

Untuk merealisasikon paradigma otonomi daerah yang baru ini diperlukan sejumlah faktor pendukung.
Pertama, menyesuaikan sekurang-kurangnya 15 Undang-undang yang selama ini mengatur kewenangan yang kini diserahkan kepada daerah otonom. Undang-undang yang perlu diubah ialah UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 2 Tahun 1992 tentang Budi Daya Tanam, UU tentang Tata Ruang, UU yang mengatur Perhubungan Darat, Laut dan Udara, UU tentang Tenaga Keqa, UU tentang Penanaman Modal, UU tentang Kesehatan, sejumiah UU yang mengatur Pekerjaan Umum, sejumlah UU yang mengatur Perdagangan dan industri, UU tentang Lingkungan Hidup, UU tentang Koperasi, UU tentang Pajak dan Retribusi Daerah, dan UU yang mengatur tata ruang dan pertanahan. Semua UU ini dibuat pada masa Orde Baru berdasarkan paradigma kekuasaan yang "satu terpusat dan seragam". Karena itu, DPR dan Pemerintah hasil Pemilu 1999 harus menetapkan perubahan sejumlah UU tersebut sebagai prioritas utama. Jiwa dan arah UU Otonomi Daerah yang baru itu sangat ditentukan oleh bentuk dan arah perubahan sejumlah UU.
Kedua, konsistensi pemerintah untuk bertindak sesuai dengan jiwa dan arah otonomi daerah yang baru tersebut. Kabinet Album Keluarga besar Bangsa Indonesia yang dibentuk oleh Abdurrachman Wahid, Megawati, Amin Rais, Akbar Tanjung, dan Wiranto ini jelas tidak konsisten dengan jiwa, arah, dan bentuk kebijakan yang dikehendaki UU No. 22 Tahun 1999 karena masih dibentuk kementerian koperasi, tenaga kerja, penanaman modal, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, kesehatan, pendidikan, perdagangan dan industri, dan pertanian secara tersendiri. Apakah pemerintah, dan khususnya para menteri yang membidangi kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom, akan bersedia mengurangi kekuasaannya? Menteri Negara Otonomi Daerah pasti harus melakukan pertarungan dengan departemen lain dalam mewujudkan UU Otonomi Daerah tersebut.
Ketiga, penyebarluasan dan pendalaman jiwa, arah, dan bentuk otonomi daerah yang dikehendaki UU tersebut kepada sebanyak mungkin pihak, khususnya para pejabat pemerintah di pusat dan daerah, politisi di Jakarta, para aktor politik lokal dalam Ranah Kekuasaan Lokal, Ranah Masyarakat Warga dan Ranah Ekonomi Lokal. Para penjabat Pemerintah Pusat dan daerah, sipil dan tentara, dan politisi Pusat (bahkan sejumlah politisi lokal) perlu memahami dan mendalami paradigma baru ini karena paradigma kekuasaan lama itu tidak saja telah menjadi pola perilaku (pattern for behavior) bagi mereka tetapi juga menjadi perilaku yang mempola (pattern of behavior). Mengubah perilaku, apalagi mengubah pemahaman dan kesadaran, yang telah terbentuk selama beberapa dekade bukanlah pekerjaaan yang mudah. Akan tetapi bila proses pemahaman jiwa, arah dan bentuk kebijakan otonomi daerah itu disertai penjabarannya dalam bentuk do and don't, dan dengan mekanisme penegakan berupa insentif dan disinsentif, maka bukan tidak mungkin mereka itu berubah. Sebaliknya, para aktor politik yang berkecimpung dalam Ranah Kekuasaan Lokal, Ranah Masyarakat Warga Lokal, dan Ranah Ekonomi Lokal juga perlu memahami jiwa, arah dan bentuk kebijakan otonomi daerah yang baru ini sehingga secara sinerjik dapat mengajukan tuntutan yang efektif untuk mewujudkan otonomi daerah tersebut.
Keempat, otonomi daerah ini akan dapat diwujudkan bila terdapat aktor politik lokal dalam jumiah dan kualitas yang memadai untuk berprakarsa, merumuskan usul, membicarakan don memperdebatkan, menyepakati, memutuskan, melaksanakan, mengawasi, dan mengevaluasi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik mengenai salah satu dari kewenangan wajib tersebut. Bentuk dan arah kebijakan dalam masing-masing 11 jenis kewenangan itu akan ditentukan oleh para aktor politik lokal ini. Aktor politik lokal ini tidak saja yang berkiprah pada partai politik, DPRD, don Pemda (Ranah Kekuasaan lokal), tetapi juga pada LSM, organisasi kemasyarakatan, media massa, kalangan menengah, cendikiawan dan pengamat, dan lembaga pemantau demokratik. Yang diperlukan tidak saja aktor politik lokal yang bergerak dalam dunia ekonomi (Ranah Ekonomi Pasar), tetapi juga yang bergerak pada ranah komunitas agama, adat istiadat, dan suku bangsa. Para aktor politik lokal seperti ini diperlukan karena yang otonom itu bukan saja DPRD dan Pemda, tetapi seluruh warga daerah dalam semua ranah yang disebutkan tersebut. Keterlibatan para aktor yang bergerak di luar Ranah Kekuasaan diperlukan tidak saja untuk mendesak realisasi otonomi daerah tersebut tetapi juga untuk mengontrol ranah kekuasaan agar menghormati otonomi Ranah Masyarakat Warga, otonomi Ranah Ekonomi, dan otonomi komunitas suku bangsa dan agama, dan agar melakukan intervensi kepada ketiga ranah lainnya hanya bila necessary (diperlukan dan diminta).
Kelima, otonomi daerah yang begitu luas akan dapat diwujudkan bila terdapat sumberdaya manusia (pegawai daerah) dalam jumiah dan kualitas yang sesuai. Karena implementasi bentuk dan arah kebijakan mengenal masing-masing 11 jenis kewenangan itu sepenuhnya berada pada jajaran aparat birokrasi daerah (pegawai daerah), tanpa petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari Pusat seperti pada masa Orde baru, maka memang sangat diperlukan pegawai daerah yang ahli dan trampil dalam bidang: tata ruang dan pertanahan, pendidikan dan kebudayaan, tenaga kerja, penanaman modal, perdagangan dan industri, lingkungan hidup, kesehatan, pekerjaan umum, perhubungan, pertanian, dan koperasi (seharusnya kebudayaan dan koperasi tidak diurus oleh pemerintah baik pusat maupun daerah karena merupakan ranah masyarakat warga, ranah komunitas dan ranah ekonomi). Yang menjadi persoalan selama ini ialah pegawai yang berkualitas ini menumpuk di kota besar di Jawa, khususnya di Jakarta. Karena itu, realisasi otonomi daerah ini mengharuskan adanya: mutasi pegawai dari Pusat kepada daerah otonom kabupaten/kota, dan redistribusi SDM dari kota besar ke daerah otonom kabupaten/kota yang langka SDM berkualitas tersebut. Apakah para pegawai negeri di berbagai departemen itu bersedia pindah? Apakah SDM di kota besar bersedia bekerja di daerah terpencil? Sebaliknya, apakah mereka ini dapat survive dan hidup layak di daerah tersebut?
Dan terakhir, sumber pendapatan daerah untuk membiayai otonomi daerah. Pemerintah telah menjamin sumber pendapatan daerah seperti yang diuraikan di atas tetapi masih terdapat sekurang-kurangnya dua persoalan. Pertama, kemampuan daerah otonom mengelola sumber pendapatan daerah tersebut dalam arti kemampuan menentukan penggunaan anggaran secara tepat sasaran, dan kemampuan mempertanggungjawabkan penerimaan dan pengeluaran baik secara administratif maupun secara politik dan hukum. Dan kedua, daerah otonom yang kurang memiliki sumberdaya alam yang memadai niscaya akan mendapatkan PAD dan Dana Perimbangan dari Pusat dalam jumlah yang kurang memadai. Daerah otonom seperti ini mungkin akan dapat bertahan dan berkembang bila memiliki sumberdaya lainnya, seperti pariwisata, kerajinan, dan sumberdaya manusia yang handal. Sebaliknya, daerah otonom yang memiliki sumberdaya alam yang masih terpendam tetapi memerlukan kapital yang besar untuk mengolahnya mungkin memerlukan uluran tangan dari luar.
Faktor-faktor pendukung yang disebutkan di atas sekaligus dapat pula dijadikan sebagai faktor penghambat bila tidak terpenuhi.

Pendapatan Daerah Otonom

Pada masa lalu prinsip yang digunakan dalam menjamin kemampuan daerah otonom membiayai otonominya ialah function follows money (tugas dan kewenangan mengikuti sumber pendapatan daerah). Artinya, makin tinggi kemampuan daerah mendapatkan pendapatan asli daerah, makin besar tugas dan kewenangan yang diberikan kepada daerah otonom tersebut. Penerapan prinsip seperti ini tidak saja dinilai terlalu mengedepankan faktor ekonomi (efisiensi) dan mengabaikan faktor kultural dan politik tetapi juga dinilai telah menyebabkan eksploatasi ekonomi (terlalu banyak pungutan) terhadap warga daerah demi PAD. Selain itu, penerapan prinsip seperti itu tanpa disertai penyerahan kewenangan mendapatkan pendapatan kepada daerah otonom tidak saja menyebabkan kepincangan antara Pusat dan daerah tetapi juga antar daerah. Kenyataan seperti inilah yang antara lain menjadi penyebab kemunculan tuntutan di sejumlah daerah penghasil devisa negara untuk merdeka, federasi, ataupun otonomi seluas-luasnya.
Untuk merespon fenomena seperti ini, prinsip yang diterapkan dalam UU Pemda yang baru ini bukan lagi function follows money melainkan money follows function. Artinya, pertama-tama sejumlah jenis tugas dan kewenangan yang dipandang sangat penting dan/atau sangat bermanfaat (necessary) ditangani daerah otonom diserahkan kepada daerah otonom. Apa saja yang seharusnya atau lebih efisien ditangani Pusat harus ditangani Pusat sedangkan selebihnya diserahkan kepada daerah otonom. Kewajiban pemerintah pusat dalam negara kesatuan untuk menjamin sumber keuangan untuk membiayai otonomi tersebut. Untuk menjamin sumber keuangan bagi daerah otonom, Pemerintah harus menjamin perimbangan keuangan Pusat dengan daerah. Perimbangan ini dapat ditempuh melalui salah satu dari dua metode berikut :
Pertama, perimbangan keuangan yang ditempuh dengan cara penetapan persentase tertentu bagi daerah otonom dari jenis penerimaan Pusat. Misalnya, dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPn) yang diperoleh Pusat di suatu daerah otonom, maka daerah otonom akan menerima sebesar 25 persen.
Kedua, perimbangan keuangan yang ditempuh dengan cara pembagian kewenangan mencari sumber pendapatan antara Pusat dan daerah otonom. Misalnya, kewenangan menarik Pajak Penghasilan ditangani Pusat tetapi kewenangan menarik Pajak Penjualan (sales tax) atau Pajak Barang Mewah diserahkan kepada daerah otonom.
Metode yang pertama diadopsi dalam UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (PKPD), sedangkan metode kedua diadopsi dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) yang baru. UU PKPD membedakan Dana Perimbangan menjadi tiga kategori : Pertama, bagian/ persentase tertentu yang diterima daerah otonom dari sejumlah Pajak Pusat dan penerimaan Pusat, yaitu PBB, Bea Balik Nama Pemilikan Tanah, penerimaan kehutanan, penerimaan perikanan, penerimaan pertambangan umum, dan penerimaan migas. Kedua, Alokasi Umum (block grant) sebesar 25% dari APBN yong diberikan kepada daerah otonom berdasarkan sejumlah indikator seperti luas wilayah, jumlah penduduk, dan indikator kualitas hidup manusia. Dana ini dimaksudkan demi pemerataan tetapi penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada DPRD dan Pemerintah Daerah. Dan ketiga, Alokasi Khusus (spesific grant) yang penggunaannya sudah ditentukan oleh Pusat dalam APBN. UU Pemda menetapkan sumber pendapatan daerah sebagai terdiri atas Pajak dan Retribusi Daerah seperti yang diatur dalam UU No. 18 Tahun 1997, Perusahaan Daerah, Pinjaman dan Obligasi Daerah, Sumber Pendapatan lain yang sah, dan Dana Perimbangan. Selain itu, UU Pemda yang baru juga menetapkan ketentuan no mandating without funding. Artinya, setiap penugasan dalam rangka medebewin (pembantuan) kepada daerah otonom harus disertai sarana, anggaran, dan personilnya.

Makalah: Pembagian Kekuasaan Antara Pusat Dan Daerah

Pada dasarnya partisipasi masyarakat pada pelaksanaan otonomi daerah harus dimengerti sebagai wujud representativeness dari suatu produk kebijakan. Pendapat umum mengakui bahwa pemerintahan yang sentralistik semakin kurang populer, karena ketidakmampuanya untuk memahami secara tepat nilai-nilai daerah atau sentimen aspirasi lokal. Alasannya, warga masyarakat akan lebih akam dan tentram dengan badan pemerintah lokal yang lebih dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun psikologis (Bonne Rust, 1968). Selain dari pada itu, memberikan keleluasan otonomi kepada daerah, diakuinya pula, tidak akan menimbulkan "disintegrasi", dan tidak akan menurunkan derajat kewibaan pemerintah nasional, malah sebaliknya akan menimbulkan respek daerah terhadap pemerintah pusat (Bryant Smith, 1986). Karena itu, ada sebuah slogan yang sering dilancarkan : "…. as much autonomy as possible, as much central power as necessary" (W. Buckelman, 1984).
Partisipasi masyarakat sendiri dapat diwujudkan (representative) melalui proses pemilihan (election) yang baik (dengan penerapan konsep transparency, lihat diatas) sehingga peranan masyarakat dapat dilihat dari perwujudan kekuatan DPRD di dalam mengontrol pelaksanaan kebijakan oleh eksekutif.

2. Pembagian Kekuasaan Antara Pusat Dan Daerah

Pembagian kekuasaan antara Pusat dan daerah dilakukan berdasarkan prinsip negara kesatuan tetapi dengan semangat federalisme. Jenis kekuasaan yang ditangani Pusat hampir sama dengan yang ditangani oleh Pemerintah di negara federal, yaitu hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter, dan agama, serta berbagai jenis urusan yang memang lebih efisien ditangani secara sentral oleh Pusat, seperti kebijakan makro ekonomi, standarisasi nasional, administrasi pemerintahan, badan usaha milik negara, dan pengembangan sumberdaya manusia. Semua jenis kekuasaan yang ditangani Pusat disebutkan secara spesifik dan limitatif dalam UU tersebut. Dalam RUU Pemda yang diajukan Pemerintah, agama termasuk yang diserahkan kepada daerah otonom sebagai bagian dari otonomi daerah. Namun MUI menyampaikon keberatan kepada DPR dan mendesak DPR dan Pemerintah untuk tetap menempatkan urusan agama pada Pusat dengan alasan kuatir akan muncul daerah agama.
Selain itu, otonomi daerah yang diserahkan itu bersifat luas, nyata dan bertanggungjawab. Disebut luas karena kewenangan sisa justru berada pada Pusat (seperti pada negara federal); disebut nyata karena kewenangan yang diselenggarakan itu menyangkut yang diperlukan, tumbuh dan hidup, dan berkembang di daerah; dan disebut bertanggungjawab karena kewenangan yang diserahkan itu harus diselenggarakan demi pencapaian tujuan otonomi daerah, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan daerah dan antar daerah. Disamping itu otonomi seluas-luasnya (keleluasaan otonomi) juga mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya melalui perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom dalam rangka desentralisasi harus pula disertai penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, dan sumber daya manusia.
Karena disamping daerah otonom propinsi juga merupakan daerah administratif, maka kewenangan yang ditangani propinsi/gubernur akan mencakup kewenangan dalam rangka desentralisasi dan dekonsentrasi. Kewenangan yang diserahkan kepada Daerah Otonom Propinsi dalam rangka desentralisasi mencakup :
a). Kewenangan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, seperti kewenangan dalam bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan;
b). Kewenangan pemerintahan lainnya, yaitu perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro, pelatihan bidang alokasi sumberdaya manusia potensial, penelitian yang mencakup wilayah Propinsi, pengelolaan pelabuhan regional, pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang dan budaya/pariwisata, penanganan penyakit menular, dan perencanaan tata ruang propinsi;
c). Kewenangan kelautan yang meliputi eksplorasi, eksploatasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut, pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang, penegakan hukum, dan bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara, dan
d). Kewenangan yang tidak atau belum dapat ditangani daerah kabupaten dan daerah kota dan diserahkan kepada propinsi dengan pernyataan dari daerah otonom kabupaten atau kota tersebut.
Bila dicermati secara seksama, maka tampaknya kriteria yang digunakan dalam menentukan jenis kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom propinsi lebih didasarkan pada kriteria efisiensi daripada kriteria politik. Artinya, jenis kewenangan yang dipandang lebih efisien, diselenggarakan oleh propinsi daripada pusat ataupun kabupaten/kota. Sudah barang tentu dengan kekecualian bagi kewenangan yang diserahkan kepada propinsi khusus dan istimewa. Dari segi tujuan yang dicapai dengan otonomi daerah (jenis dan jumlah kewenangan) tersebut, tampaknya pertumbuhan ekonomi dan penyediaan infrastruktur lebih menonjol sebagai sasaran yang akan dicapai daripada peningkatan pelayanan publik kebutuhan dasar dan kesejahteraan rakyat. Kecuali bila pertumbuhaan ekonomi ini memang diarahkan pada penciptaan kesempatan kerja. Peningkatan kesejahteraan rakyat mungkin akan ditangani propinsi, semata-mata karena daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota belum mampu, atau karena dilimpahkan pusat kepada propinsi. Akan tetapi seperti dikemukakan pada awal tulisan ini, pekerjaan yang layak dari segi jenis dan penghasilan bagi penduduk yang berumur kerja merupakan kunci kesejahteraan sosial. Karena itu daerah otonom propinsi hendaknya mengarahkan pertumbuhan ekonomi kepada penciptaan kesempatan kerja tersebut.
Desentralisasi kekuasaan kepada daerah disusun berdasarkan pluralisme daerah otonom dan pluralisme otonomi daerah. Daerah otonom tidak lagi disusun secara bertingkat (Dati I, Dati II, dan Desa sebagai unit administrasi pemerintahan terendah) seperti pada masa Orde Baru melainkan dipilah menurut jenisnya, yaitu daerah otonom propinsi, daerah otonom kabupaten, daerah otonom kota, dan kesatuan masyarakat adat (desa atau nama lain) sebagai daerah otonom asli. Jenis dan jumlah tugas dan kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom (otonomi daerah) tidak lagi bersifat seragam seluruhnya melainkan hanya yang bersifat wajib saja yang sama sedangkan kewenangan pilihan diserahkan sepenuhnya kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota untuk memilih jenis dan waktu pelaksanaannya. Perbedaan daerah otonom kabupaten/kota dengan daerah otonom kabupaten/kota lainnya tidak saja terletak pada jenis kewenangan pilihan yang ditanganinya tetapi juga jenis kewenangan wajib yang mampu ditanganinya karena bila belum mampu menanganinya maka jenis kewenangan itu buat sementara dapat diurus oleh propinsi.
Perbedaan setiap daerah otonom propinsi terletak pada apakah propinsi itu daerah khusus/istimewa ataukah biasa, dan apakah terdapat kabupaten atau kota yang berada dalam wilayah propinsi itu yang belum mampu menangani semua jenis kewenangan wajib tersebut. Di Indonesia dikenal tiga propinsi yong berstatus khusus, yaitu DKI Jakarta (khusus karena ibukota negara), Daerah Istimewa Aceh (dalam hal sejarah, adat istiadat dan agama), dan Daerah Istimewa Yogyakarta (dalam hal sejarah dan kepeminpinan daerah). Bila bercermin pada kemampuan kabupaten dan kota yang terdapat pada sejumlah propinsi di Indonesia dewasa ini, maka untuk beberapa propinsi tersebut seharusnya diberi kewenangan yang lebih besar daripada kabupaten dan kota. Propinsi Irian Jaya, Kalimantan Tengah, dan Riau mungkin termasuk kedalam kategori ini, sedangkan semua propinsi di Jawa, Sumut, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara misalnya yang hampir semua kabupaten/kotanya sudah memiliki kemampuan di atas rata-rata tetap mengikuti UU tersebut (kewenangan kabupaten dan kota lebih banyak daripada propinsi). Akan tetapi pluralisme otonomi daerah seperti ini rupanya dinilai terlalu kompleks sehingga tidak diadopsi dalam UU Pemerintahan Daerah tersebut.
Desa (Jawa), nagari (Sumbar), baniar (Bali), huta/kuta (Batak), negeri (Maluku), gampong (Aceh), dan nama lain di daerah lain dikembalikan statusnya sebagai kesatuan masyarakat adat yang berwenang mengurus rumah tangganya sendiri. Desa dan kesatuan masyarakat adat lainnya itu diakui sebagai memiliki otonomi asli, yaitu tugas dan kewenangan yang lahir berdasarkan adat istiadat, sejarah, dan tradisi masyarakat tersebut. Kesatuan masyarakat adat bukan lagi unit administrasi pemerintahan terendah; ia bukan lagi perpanjangan tangan negara atau daerah otonom. Negaranisasi yang dilakukan Orde Baru terhadap kesatuan masyarakat adat, yang menyebabkan kehancuran kelembagaan, kemampuan, pengetahuan, dan sumberdaya lokal, hendaknya diakhiri. Kesatuan masyarakat adat hendak dikembalikan sebagai self governing community. Karena pada masa lalu kesatuan masyarakat adat ini cenderung menjadi korban pengusaha kehutanan, pengusaha industri, pengusaha perumahan, dan pengusaha industri pariwisata, maka dalam UU ini ditegaskan keharusan adanya kerjasama antara perusahaan yang melakukan investasi di kawasan pedesaan tersebut dengan kesatuan masyarakat adat.
Dalam rangka negara kesatuan, Pemerintah Pusat masih memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap daerah otonom. Tetapi pengawasan yang dilakukan pusat terhadap daerah otonom diimbangi dengan kewenangan daerah otonom yang lebih besar, atau sebaliknya, sehingga terjadi semacam keseimbangan kekuasaan. Keseimbangan yang dimaksud ialah seperti berikut : Pengawasan ini tidak lagi dilakukan secara struktural, yaitu bupati dan gubernur bertindak sebagai wakil Pusat sekaligus kepala daerah otonom, dan tidak lagi secara preventif perundang-undangan, yaitu setiap Perda memerlukan persetujuan Pusat untuk dapat berlaku. Menurut UU baru ini, bupati dan walikota sepenuhnya menjadi kepala daerah otonom yang dipilih oleh dan bertanggungjawab kepada DPRD dan dapat diberhentikan oleh DPRD pada masa jabatannya tetapi penetapan ataupun pemberhention kepala daerah secara administratif (pembuatan Surat Keputusan) masih diberikan kepada Presiden. Gubernur pada pihak lain masih merangkap sebagai wakil Pusat dan kepala daerah otonom, tetapi UU baru ini menetapkan kewenangan Pusat dan kewenangan DPRD untuk mengontrol gubemur secara seimbang. Pengawasan Pusat terhadap daerah otonom menurut UU baru ini dilakukan berdasarkan supremasi hukum. Artinya, setiap Perda yang dibuat oleh DPRD dan Kepala Daerah langsung dapat berlaku tanpa memerlukan persetujuan Pemerintah. Akan tetapi Pusat setiap saat dapat menunda atau membatalkannya bila Perda itu dinilai bertentangan dengan Konstitusi, UU dan kepentingan umum.
Sebaliknya, bila daerah otonom (DPRD dan Kepala Daerah) menilai justru tindakan Pusat menunda atau membatalkan itulah yang bertentangan dengan Konstitusi, UU atau kepentingan umum, maka daerah otonom dapat mengajukan gugatan/keberatan kepada Mahkamah Agung untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Pusat dan daerah otonom harus patuh kepada keputusan MA.

Pengertian Otonomi Daerah

Sejak terjadinya perpindahan kekuasaan dari orde lama ke orde baru, perekonomian Indonesia pada dasarnya mengalami perubahan-perubahan mendasar. Terutama menyangkut pertumbuhan ekonomi dan pola pembangunan yang lebih beriorientasi pada industri (import substitution). Walaupun pada masa awal perubahan tersebut membawa dampak yang besar dengan adanya inflasi dan pengangguran (akibat transformasi ekonomi) pemerintah mampu menanggulanginya. Hal ini tentu saja akibat dukungan dari harga minyak yang melambung (oil boom crisis), sehingga penerimaan negara pada masa itu meningkat tajam.
Dilain pihak kemajuan ekonomi pada masa itu juga di dukung oleh adanya stabilitas politik dan keamanan yang baik, sehingga ini menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya kegiatan ekonomi serta memperkuat peran negara (pusat) dan rasa percaya diri-nya (self confidence) di dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.
.Kalau boleh diringkas kondisi tersebut diatas menggambarkan, bahwa masyarakat sendiri tidak pernah menjadi agen pembangunan (development agent), karena yang paling sering disebut-sebut agen – agen pembangunan misalnya adalah BUMN, Koperasi serta lembaga bentukan pemerintah lainya.
Pada dasarnya pemerintah sudah melihat permasalahan tersebut diatas dengan mengeluarkan UU No 5 Tahun 1974, dimana isu penguatan peran daerah di dalam pembangunan dibahas. Ternyata dengan pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah yang diterbitkan pada masa pemerintahan periode tersebut, walaupun telah berjalan k.l. 25 tahun, pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab serta meletakkan titik berat otonomi daerah pada daerah Tingkat II, jalannya masih tersendat-sendat, lamban dan dalam beberapa hal malah mundur.
Karena UU No. 5 Tahun 1974 lebih dapat dirasakan sebagai undang-undang birokrasi daripada undang-undang desentralisasi, yang lebih menonjolkan sikap arogansi kekuasaan dimana birokrasi pusat lebih leluasa melakukan tindakan-tindakan pemerintahan yang sentralistik yang memaksakan kehendak pusat kepada daerah.
Kebijaksanaan ini tidak bida dibiarkan berlarut, pemerintah harus mempunyai kemampuan dan keberanian politik untuk melakukan reformasi terhadap undang-undang yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman.

Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi dalam arti kata yang sempit dapat kita artikan sebagai ‘mandiri’ atau dalam arti kata yang lebih luas dapat diartikan sebagai ‘berdaya’. Sehingga otonomi daerah dapat kita artikan sebagai kemandirian daerah terutama mengenai pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mampu mencapai kondisi tersebut, maka daerah dapat dikatakan sudah berdaya untuk melakukan apa saja sendiri tanpa tekanan dari luar (external intervention).
Secara politis, kehendak rakyat untuk memperjuangkan otonomi daerah dituangkan dalam keputusan MPR tanggal 13 November 1998 yang lalu, yakni TAP No XV tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah. TAP tersebut mengatur tentang pengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkualitas, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Kata lain dari otonomi juga dapat diartikan sebagai dekonsentrasi atau desentralisasi. Negara kita yang pluralistik dengan berbagai macam ragam dan sumber daya yang dimiliki, tentunya harus menjadi dasar pemikiran utama dalam pengembangan suatu kebijakan otonomi daerah. Lebih tegas lagi, otonomi daerah merupakan hak asasi mengingat keadaan negara kita yang terdiri dari banyak pulau dan dengan tingkat heterogenitas yang tinggi.
Secara umum peranan negara terutama di dalam pelaksanaan otonomi daerah masih perlu, mengingat mekanisme pasar atau instrumen ekonomi tidak akan selalu dapat menyelesaikan masalah. Instrumen-instrumen ekonomi pasar melalui insentif dan diinsentif yang tercermin di dalam sistem harga memang mengarahkan tingkah laku manusia sebagai makhluk ekonomi, tetapi tanpa kebijakan yang mendukung dan serasi dalam bentuk regulasi, institusi dan penegakan hukum (law enforcement), instrumen-instrumen ekonomi tersebut justru dapat menyebabkan pembangunan itu sendiri tidak sustainable (sustainaible development path).