contoh makalah IT

Berikut ini adalah contoh makalah IT. semoga contoh makalah IT ini dapat menjadi referensi pembaca sekalian dalam membuat makalah tentang IT.
__________________

Pendahuluan
Perubahan lingkungan luar perguruan tinggi (PT), mulai lingkungan sosial, ekonomi, teknologi, sampai politik mengharuskan PT memikirkan kembali bagaimana perubahan tersebut mempengaruhi PT sebagai sebuah institusi sosial dan bagaimana PT harus berinteraksi dengan perubahan tersebut (Boyce, 2002). Kecenderungan dan masalah PT di Indonesia akhir-akhir ini sangat mirip dengan apa yang terjadi di Amerika akhir tahun 1970- an (Karol dan Ginsburg, 1980). Pada saat itu, PT di Amerika dihadapkan pada masalah (1) hilangnya kepercayaan pada manfaat pendidikan tinggi; (2) perubahan pola minat calon mahasiswa kepada jurusan vokasional; (3) meningkatnya persaingan antar PT; (4) membumbungnya biaya pendidikan; (5) maraknya pembukaan community college yang lebih dekat secara geografis dengan mahasiswa dan berbiaya rendah; (6) meningkatnya kepedulian terhadap manajemen pendidikan yang lebih efektif; dan (7) lunturnya semangat kolegialitas.

Di antara isu manajemen yang mengemuka saat itu adalah pencarian sumberdana nonkonvensional dan efisiensi, termasuk pemanfaatan teknologi informasi. Dalam literatur pendidikan tinggi terekam juga bahwa telah banyak usaha PT untuk merespon secara aktif perubahan tersebut, termasuk dengan menerapkan reorganisasi melalui business process reengineering (BPR) yang salah satunya menggunakan Information technology (IT) sebagai enabler (e.g. Adenso-Diaz dan Canteli, 2001; Bridges, 2000).

Dalam konteks ini, IT dapat dijadikan alat bantu efisiensi dan efektivitas pengelolaan PT. Dari awal harus disadari bahwa IT bukan ”obat mujarab” untuk semua masalah. Pemahaman yang salah tentang peran IT ini sering ditemui dalam banyak kasus. Akibatnya fokus diberikan pada IT dan mengabaikan hal penting lain; manusia, proses, dan organisasi (Curry, 2002). Investasi IT yang besar jika tidak diikuti dengan perubahan ketiga hal tersebut menjadi tidak efektif. Inilah yang menyebabkan fenomena ”productivity paradox”, dimana investasi yang besar tidak menghasilkan manfaat yang besar juga (Brynjolfsson dan Hitt, 1998).

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah (1) Apa yang bisa diberikan oleh IT dalam mendukung manajemen PT?; dan (2) Tantangan dan hambatan apa yang mungkin muncul dalam pemanfaatan IT tersebut? Contoh Makalah tentang IT ini dimaksudkan untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut.

Selanjutnya, makalah IT ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian kedua akan menggambarkan karakteristik PT yang perlu diperhatikan dalam konteks implementasi IT. Bagian selanjutnya membahas paradigma dalam memandang IT, yang dilanjutkan pada bagian keempat dengan pembahasan peluang pemanfaatan IT. Bagian kelima menjelaskan tantangan terkait dengan pemanfaatan IT di PT. Kesimpulan, pada bagian keenam, mengakhiri makalah ini.

Karakteristik PT
Sebelum membahas peluang yang ditawarkan oleh IT dalam manajemen PT, akan lebih baik jika karakteristik PT sebagai sebuah organisasi dibahas lebih dahulu. Weick (1979) – dalam Curry (2002) – menggunakan istilah loosely coupled wordls untuk menyebut institusi PT. Dalam PT, hubungan antar bagian sangat renggang. Dalam dunia seperti ini, anggota organisasi belajar dan berubah dengan cara imitasi. Hal ini tidak akan berjalan dengan baik sampai rasa saling percaya tumbuh. Karenanya, sivitas akademika harus dilihat sebagai manusia dan bukan mesin produksi. Dalam organisasi seperti ini, hubungan informal antar anggota organisasi menjadi sangat penting.

Cohen dan March (1974) – dalam Curry (2002) – menggunakan sudut pandang teori perilaku organisasi menyatakan bahwa PT tidak hanya inkonsisten dalam tujuannya tetapi juga banyak diwarnai konflik internal. Mereka menyebut PT sebagai organized anarchies, sebuah organisasi yang dalam sudut pandang operasional tidak mengetahui apa yang sedang mereka lakukan. Terlepas dari setuju atau tidak dengan pernyataan ini, bekerja sebagai administrator (termasuk sebagai rektor) di PT menjadi sangat menantang. Metafor yang paling tepat untuk menggambarkan situasi ini adalah seperti memimpin pelayaran dengan kapal layar yang memanfaatkan kekuatan angin dan ombak, dan bukan seperti memimpin kapal mesin. Angin dan ombak adalah ibarat kekuatan dari bagian-bagian dan anggota organisasi yang harus disinergikan – bukan diseragamkan – untuk mencapai tujuan.
Dari sudut pandang yang lain, PT oleh Brookes (2003) disebut sebagai industri quasicommercial. Di satu sisi PT ingin memberikan pelayanan pendidikan kepada masyarakat, tetapi di pihak lain, prinsip-prinsip manajemen industri komersial harus dijalankan untuk mendapatkan dana guna mendukung keberlangsungan hidupnya. Menurut Brookes, PT harus memberikan batas demarkasi tanggung-jawab, peran, aturan-main yang jelas antara wilayah yang harus dikelola dengan prinsip komersial dan wilayah yang disediakan untuk akademik. Jika ini tidak dilakukan, banyak konflik kepentingan yang muncul ke permukaan.

Dari perspektif yang berbeda, Lovelock (1983) mengidentifikasi lima karakteristik yang melekat pada sebuah institusi pendidikan:
1. Sifat pelayanan (the nature of the service act). Layanan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan lebih mengarah kepada hal yang bersifat intangible – people based – daripada hal-hal yang bersifat fisik – equipment based. Dalam proses pelayanan juga melibatkan aksi-aksi yang intangible.
2. Hubungan dengan konsumen (the relationship with the customer). Layanan pendidikan melibatkan hubungan dengan konsumen yang berlangsung lama dan bersifat formal serta dilakukan terus-menerus (continuous). Mahasiswa sebagai konsumen mempunyai hubungan ”keanggotaan” (”membership” relationship) dengan pihak universitas. Hal ini memungkinkan terbentuknya loyalitas konsumen yang tinggi (pihak mahasiswa) dan peningkatan kualitas layanan terhadap konsumen (pihak universitas).
3. Tingkat kustomisasi dan penilaian pelayanan (the level of customization and jugdement in service delivery). Tingkat kustomisasi pendidikan sangat bervariasi. Tutorial dengan peserta sedikit atau bimbingan individual akan lebih mudah dikustomisasi daripada pendidikan dengan banyak peserta. Semakin terkustomisasinya layanan yang ditawarkan menjadikan konsumen memiliki tingkat pengharapan yang tinggi terhadap kualitas layanan, terutama terkait dengan kualitas staf pengajar. Jika demikian, masalah yang akan muncul adalah kemungkinan adanya hubungan antara kualitas dan tingkat keragaman layanan. Semakin beragam layanan yang ditawarkan, kemungkinan menurunnya kualitas semakin tinggi.
4. Sifat permintaan relatif terhadap penawaran (the nature of demand relative to supply). Dalam bidang jasa, terdapat widespread demand (seperti tenaga listrik) dan narrow demand (seperti kamar hotel). Tingkat penawaran untuk memenuhi permintaan yang berfluktuasi sangat berbeda. Peningkatan permintaan tenaga listrik akan lebih mudah dan lebih cepat diatasi dengan meningkatkan kapasitas produksi, jika masih tersediam, dibandingkan dengan peningkatan permintaan terhadap akomodasi hotel. Dalam dunia pendidikan, permintaan terkait dengan narrow demand. Dengan demikian penawaran akan sulit dikelola, karena terkait dengan keterbatasan tenaga pengajar dan program studi yang ditawarkan.
5. Metode pelayanan (the method of service delivery). Metode pelayanan tergantung pada outlet layanan (single atau multiple) dan sifat interaksi antara konsumen dengan penyedia jasa. Konsumen harus datang ke penyedia jasa dan sebaliknya. Dalam jasa pendidikan, umumnya lembaga pendidikan mensyaratkan konsumen yang datang ke kampus. Namun seiring dengan perkembangan teknologi, memungkinkan dilakukannya distance learning.

Paradigma Penerapan IT
Kemudian, pertanyaannya adalah bagaimana IT bisa dimanfaatkan dalam organisasi dengan karakteristik tersebut di atas dengan segala masalah turunan yang muncul? Pertanyaan ini lazim diajukan. Namun, menurut Hammer dan Champy (1993) berpikir deduktif (deductive thinking) tidak banyak memunculkan perubahan yang radikal terkait dengan pemanfaatan IT dibandingkan jika berpikir secara induktif (inductive thinking). Orang yang berpikir secara deduktif, pertama kali mencari masalah yang akan dipecahkan dan kemudian mengevaluasi sejumlah alternatif solusi yang akan digunakan. Jika IT ingin dioptimalkan pemanfaatannya dalam organisasi maka manajer/pemimpin harus berpikir induktif. Potensi IT harus dikenali dengan baik terlebih dahulu, kemudian mencari masalah yang mungkin dipecahkan. Masalah ini mungkin bahkan tidak dikenali sebelumnya atau tidak dianggap sebagai masalah.

Pertanyaan yang harus dimunculkan bukannya, “Bagaimana kita dapat menggunakan kemampuan IT untuk meningkatkan apa yang telah kita kerjakan?”, tetapi “Bagaimana kita dapat menggunakan IT untuk mengerjakan apa yang belum kita kerjakan?.” Pertanyaan yang pertama lebih terkait dengan otomatisasi, yang juga dapat meningkatkan efisiensi, namun tidak sebaik yang dihasilkanrekayasa-ulang (reengineering) berbantuan IT.

Satu hal penting yang harus ditekankan adalah bahwa strategi bisnis harus sejalan (wellaligned) dengan strategi IT. Dalam konteks ini, kesejalanan (alignment) antara manajemen puncak dan manajemen IT menjadi syarat utama. Henderson dan Venkatraman (1999) mengusulkan empat perspektif strategic alignment terkait dengan pemanfaatan IT di sebuah organisasi: (1) strategy execution; (2) technology transformation; (3) competitive potential; dan (4) service level. Pespektif pertama dan kedua mengasumsikan strategi bisnis sebagai faktor pendorong, sedang pespektif ketiga dan keempat mengasumsikan strategi IT sebagai pendorong. Perspektif ini berasal dari asumsi hubungan yang berbeda antara business strategy (i.e. business scope, distintive competencies, business governance), organizational infrastructure (i.e. administrative structure, processes, skills), IT strategy (i.e. technology scope, systemic competencies, IT governance), danIT infrastructure (i.e. architecture, processes, skills). Peran manajemen puncak dan manajemen IT.

Dalam kaitan ini, dukungan penuh dari manajemen puncak sangat diperlukan, baik dalam penyediaan dana maupun dalam kepemimpinan (leadership). Namun demikian, komitmen pendanaan ini harus terkontrol dengan baik. Survei yang dilakukan oleh CFO Magazinemenemukan bahwa 86% senior financial executives mengatakan bahwa pengeluaran di bidang IT tidak cukup terkontrol (dalam David, Schuff, dan Louis, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa manajemen total cost of ownership (TCO) perlu diperbaiki. TCO ini meliputi acquisition costs,control costs, dan operations costs.

Kedua, kurangnya komitmen dan dukungan penuh dari manajemen puncak akan menjadi hambatan dalam pemanfataan IT di PT. Sikap “do it to me” adalah salah satu bentuk kurangnya komitmen.Dalam banyak studi tentang pemanfaatan IT, komitmen manajemen puncak selalu menjadi kondisi penentu keberhasilan (Bashein, Markus, dan Riley, 1994).

Ketiga, kekhawatiran terhadap perubahan juga menjadi hambatan yang lain. Dalam banyak studi ditemukan, resistance to change adalah salah satu penghambat perubahan (e.g. Earl dan Feeny, 1997). Ada banyak alasan mengapa seseorang menjadi khawatir dengan perubahan, termasuk hilangnya rasa aman dan entry barrier yang besar terkait dengan tingkat ketrampilan. Teori difusi inovasi dapat menjelaskan fenomena ini dengan baik, Menurut Rogers (1995) kecepatan difusi sebuah inovasi dipengaruhi oleh empat elemen, yaitu (1) karakteristik inovasi; (2) kanal komunikasi yang digunakan untuk mengkomunikasi manfaat inovasi; (3) waktu sejak inovasi diperkenalkan; dan (4) sistem sosial tempat inovasi berdifusi. Karenanya, pendekatan evolusioner seringkali lebih disukai dan lebih tepat daripada pendekatan revolusioner (Curry, 2002). Dalam konteks ini, motivasi juga menjadi isu penting. Dalam banyak kasus perubahan perusahaan, sistem penghargaan (rewarding system) juga diperbaiki untuk memotivasi keterlibatan semuastakeholder.

Karenanya, keempat, keterlibatan semua stakeholder adalah tantangan lain yang harus diperhitungkan (Bashein et al., 1994). Tidak pernah ada perubahan yang mendasar tanpa keterlibatan semua pihak. Dalam hal ini, selain rewarding system yang baik, kepemimpinan yang baik sangat diperlukan. Pelibatan semua stakeholder bukan masalah mudah dalam hal ini. Tingkat kapabilitas dan kepedulian yang berbeda menjadikan pelibatan semua pihak di PT – yang loosely coupled – menjadi sangat berat. Karena itu, komunikasi dengan semua pihak menjadi sangat penting. Namun demikian, manfaat dan peluang penggunaan IT dalam PT haruslah yang selalu dimunculkan lebih dahulu. Komunikasi ini juga diperlukan untuk menjamin kesejalanan antara strategi bisnis dan strategi IT.

Keterlibatan semua pihak tidak hanya pada tahap awal implementasi, namun sampai proses pemanfaatan IT secara terus-menerus. Di sini, perubahan budaya juga diperlukan, yaitu menjadi budaya digital. Tanpa keterlibatan semua pihak dan perubahan budaya, manfaat IT tidak dapat dieksploitasi dengan optimal.

Penutup
Meskipun banyak perubahan yang bisa dilakukan dengan bantuan IT, namun demikian tantangan atau hambatan harus diatasi untuk menciptakan kondisi yang kondusif untuk optimalisasi pemanfaatan IT di PT. Optimalisasi pemanfaatan IT juga memerlukan perubahan pola pikir dari deduktif menjadi induktif, dan kesejalanan antara manajemen puncak (atau strategi bisnis) dan manajemen IT (atau strategi IT). Hal ini juga berarti bahwa investasi di bidang IT haruslah diikuti dengan langkah-langkah perbaikan dan penyesuaian kualitas manusia, proses, dan organisasi.

sumber: http://byupustakawan.wordpress.com

______________
Demikian contoh makalah IT dari kami. Semoga contoh makalah IT ini bermanfaat bagi pembaca blog ini. Apabila para blogger berkeinginan me-repost contoh makalah IT ini mohon mencantumkan http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2012/06/contoh-makalah-it.html sebagai sumbernya.

Post a Comment