Sejarah Wakaf dalam Pendidikan Islam
Di dalam sejarah pendidikan Islam klasik, antara pendidikan Islam dan wakaf mempunyai hubungan erat. Lembaga wakaf menjadi sumber keuangan bagi kegiatan pendidikan Islam sehingga pendidikan Islam dapat berlangsung dengan baik dan lancar. Adanya manajemen wakaf dalam Islam disebabkan oleh sistem ekonomi Islam, yang menganggap bahwa ekonomi berhubungan erat dengan akidah dan syariat.
Negara adalah institusi pelaksana pendidikan yang paling penting. Negara adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap segala urusan rakyat, termasuk dalam pendidikan. ”Sosok Ibnu Sina, Ibnu Kholdun, Ibnu Taimiyah, Imam Syafi’i dan ratusan ilmuan lain adalah contoh kecil produk sistem pendidikan Islam. Mereka sangat produktif dalam karya-karya monumental. Satu contoh kecil perhatian pemerintahan Islam dalam pendidikan adalah ketika Khalifah Harun al-Rasyid membuat keputusan: "Barangsiapa di antara kalian yang secara rutin mengumandangkan azan di wilayah kalian, maka catatlah pemberian (hadiah) sebesar 1000 dinar. Siapa pun yang menghafal al-Quran, tekun menuntut ilmu, dan rajin meramaikan majelis-majelis ilmu dan tempat pendidikan adalah berhak memperoleh 1000 dinar. Siapa saja yang menghafal al-Quran, meriwayatkan hadis, dan mendalami ilmu syariat Islam adalah berhak atas pemberian 1000 dinar".
Selain subsidi dari pemerintah, sumber dana yang digunakan untuk pendidikan berasal dari wakaf. ”Wakaf merupakan bagian dari ibadah dan hukum Islam yang berkaitan harta benda. Sebagai sistem pendanaan pendidikan, wakaf menjadi semacam lembaga yang terorganisasi dengan baik dan menjadi mode di masa Abbasiyah terutama masa keemasan peradaban Islam”. Khalifah Al-Makmun dianggap sebagai pemrakarsa berdirinya badan-badan wakaf untuk lembaga pendidikan, sehingga berbagai kegiatan keilmuan, termasuk gaji para ulamanya dapat berlangsung terus dan kokoh.
Badan wakaf yang permanen dipandang sebagai suatu keharusan dalam mendirikan suatu lembaga ilmiah. Selanjutnya wakaf-wakaf ini berkembang kegunaannya bagi orang-orang atau kelompok-kelompok studi yang menyediakan dirinya untuk kesibukan-kesibukan ilmiah di berbagai masjid. Pemberi wakaf dapat menentukan kriteria syeikh dan pengajar yang memenuhi syarat. Wakaf kebanyakan merupakan aset ekonomi yang berjalan, seperti pertanian, rumah, toko, kebun, kantor dagang, pabrik, pasar dan lain sebagainya. Dana yang dihasilkan akan bervariasi sesuai dengan kondisi ekonomi waktu itu. Oleh karena itu tingkat kehidupan para siswa dan guru yang dibiayai oleh hasil wakaf berubah-ubah dari waktu ke waktu. Dengan wakaf pendidikan menjadi lebih baik.
Mahmud Yunus memaparkan bahwa ”Dar al-Ilmi di Kairo yang didirikan oleh Al Hakim bi Amrillah pada tahun 1004 M menghabiskan kira-kira 257 dinar setiap tahun dari kas negara untuk beragam keperluan di luar gaji guru dan karyawan. Dana itu digunakan untuk membeli tikar, kertas, gaji petugas perpustakaan, air, gaji pesuruh, keperluan para pengajar, perbaikan kain, pintu, menjilid buku, membeli tikar bulu dan permadani”.Ahmad, raja Idzaj membagi hasil pajak negara menjadi tiga bagian, dimana sepertiganya untuk membiayai pendidikan.
Wakaf yang menjadi salah satu sumber pembiayaan pendidikan dalam Islam dalam pengelolaannya juga menerapkan sistem sentralistik. Dimana pemberi wakaf seringkali menentukan pola pengelolaan harta wakafnya dan penggunaan yang jelas dari hasil wakaf tersebut dalam dokumen wakaf, tanpa mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan kondisi dan kebutuhan lembaga pendidikan tersebut di kemudian hari. Di samping itu pemberi wakaf juga sering menentukan dirinya sendiri atau ahli warisnya sebagai penanggung jawab dalam mengelola harta wakaf tersebut. Kondisi pengelolaan wakaf seperti ini bisa menyebabkan madrasah tersebut terlantar dan ditutup jika kurang pengawasan dan bantuan wakaf secara kontinyu.
Post a Comment