Pengertian Wakaf

Pengertian wakaf secara terminologi menurut ahli fiqih menggunakan dua kata: habas dan wakaf. Karena itu sering digunakan kata seperti habasa atau ahbasa atau awqafa untuk menyatakan kata kerjanya. Sedang wakaf dan habas adalah kata benda dan jamaknya adalah awqaf, ahbas, dan mahbus. Dalam kamus Al-Wasith dinyatakan bahwa al-habsu artinya al-man’u (mencegah atau melarang) dan al-imsak (menahan) seperti dalam kalimat habsu as-sya’i (menahan sesuatu). Waqfuhu la yuba’ wa la yurats (wakafnya tidak dijual dan tidak diwariskan). Dalam wakaf rumah dinyatakan: Habasa fi sabilillah (mewakafkannya di jalan Allah SWT). Sedangkan menurut Ibnu Faris tentang kata habas: al-habsu ma wuqifa, al-habsu artinya sesuatu yang diwakafkan, dan pada kata wakaf, “Sesungguhnya keduanya berasal dari satu makna yang menunjukkan diamnya sesuatu.”
Ibnu Mandzur dalam kitabnya Lisanul Arab mengatakan tentang kata habas yang berarti amsakahu (menahannya). Ia menambahkan: al-hubus ma wuqifa (sesuatu yang diwakafkan), seperti pada kalimat Habbasa al-faras fi sabilillah (ia mewakafkan kuda dijalan Allah SWT) atau ahbasahu, dan jamaknya adalah habais. Kalimat ini berarti bahwa kuda itu diwakafkan kepada tentara untuk ditungganginya ketika sedang malakukan jihad.
Sedangkan menurut Al-Azhari, ia mengatakan bahwa al-hubus jamak dari al-habis, yang berarti setiap benda yang diwakafkan oleh pemiliknya sebagai wakaf, haram hukumnya apabila dijual atau diwariskan, baik tanahnya, pepohonannya dan semua peralatannya. Dalam hadist tentang zakat dinyatakan bahwa Khalid telah menjadikan budak dan keturunan darinya sebagai hubus (wakaf) di jalan Allah SWT. Pemakaian kalimat yeng benar untuk kata habas adalah seperti pada kalimat: habastu yang berarti waqoftu (saya telah mewakafkan). Sedangkan kata tahabbasa sinonimnya adalah tawaqqafa.
Ibnu Mandzur menambahkan tentang kata wakafaseperti pada kalimat: Wakafa al-arha ala al-masakin (Dia mewakafkan tanah kepada orang-orang miskin). Sedangkan dalam kamus Mukhtar As-Shahah: Li al-masakin waqfan yang berarti habasahu (mewakafkannya untuk orang-orang miskin).[1]
Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “waqf” yang bererti “al-Habs”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359). Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah) (al-Jurjani: 328). Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut:
Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.
Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376). Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan (al-Syairazi: 1/575).
Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185). Itu menurut para ulama ahli fiqih. Bagaimana menurut undang-undang di Indonesia?. Dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. 
Dari beberapa definisi wakaf tersebut, dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU No. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Dalil yang menjadi dasar di syariatkannya ajaran wakaf bersumber dari pemahaman teks ayat Al-Quran dan juga As-Sunnah. Tidak ada dalam ayat Al-Quran yang secara tegas menjelaskan tentang ajaran wakaf. Yang ada adalah pemahaman konteks terhadap ayat al quran yang dikategorikan sebagai amal kebaikan.[2] Di antaranya ada dalam Al Quran surat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan (Q.S. Al-Hajj: 77).

لَن تَنَالُواْ الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya(Q.S. Ali Imran: 92).

مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّئَةُ حَبَّةٍ وَاللّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[3]adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui (Q.S. Al-Baqarah: 261)

Kemudian dalam hadist Nabi yang menyinggung masalah sadaqoh jariyah yaitu:
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إذامات ابن ادم انقطع عمله الآ
 من ثلاث، صدقة جارية، اوعلم ينتفع به، او ولد صا لح يدعوله (رواه مسلم) 
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: "apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia maka putuslah amalnya kecuali tiga perkara, shadaqoh jariyah, ilmt yang bermanfaat, anak sholeh yang mendoakan orang tuanya". (HR. Muslim)




[1] Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif  (Jakarta: Penerbit Khalifa, 2005), hlm 44-45
[2] Departemen Agama, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2004), hlm. 23-25
[3] Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

Post a Comment